Pangkalpinang,growmedia-indo.com -
Kepastian ini disampaikan oleh hakim tunggal praperadilan, Dewi Sulistiarini SH, dalam sidang perdana pada Kamis (27/11/2025).
Meski demikian, Hangga Oktafandany SH selaku kuasa hukum utama dr Ratna tetap melanjutkan pembacaan seluruh permohonan praperadilan yang telah mereka ajukan.
Hangga menegaskan bahwa sekalipun praperadilan dinyatakan gugur, isi permohonan tetap penting dibacakan sebagai bentuk keberatan hukum yang harus tercatat secara resmi di hadapan majelis.
Dalam permohonannya, tim hukum menilai penetapan tersangka terhadap dr Ratna—yang dituangkan dalam Surat Ketetapan Nomor: Sp.Tap/35/VI/RES.5/2025/Ditreskrimsus tertanggal 18 Juni 2025—adalah tindakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Mereka meminta hakim untuk menyatakan penetapan tersangka cacat prosedur dan memerintahkan Polda Kepulauan Bangka Belitung untuk merehabilitasi nama baik kliennya.
Tim hukum memaparkan sedikitnya 22 poin keberatan yang menyoroti ketidaksesuaian prosedur penyidikan, tidak terpenuhinya dua alat bukti permulaan yang cukup, hingga pelanggaran terhadap mekanisme penanganan dugaan pelanggaran medis sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Salah satu poin utama yang ditegaskan adalah bahwa penetapan tersangka kepada dr Ratna dilakukan sebelum penyidik mengumpulkan alat bukti, termasuk pemeriksaan saksi.
Berdasarkan data yang dibacakan di persidangan, pemeriksaan sejumlah saksi baru dilakukan pada 7 Juli dan 22 Juli 2025, atau jauh setelah penetapan tersangka pada 18 Juni 2025.
Tak hanya itu, tim hukum juga menyoroti ketiadaan otopsi sebagai bukti utama dalam pasal yang disangkakan, yakni Pasal 440 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan yang merupakan delik materil.
Mereka menegaskan bahwa tanpa otopsi, penyidik tidak memiliki bukti dasar untuk menetapkan ada atau tidaknya jejak tindakan medis yang menyebabkan luka berat atau kematian pasien.
Selain persoalan alat bukti, tim hukum juga memaparkan bahwa UU Kesehatan secara tegas mengatur mekanisme khusus penyelesaian dugaan pelanggaran medis, antara lain melalui pengaduan ke Majelis Disiplin Profesi (MDP), pemeriksaan etik, pemberian sanksi disiplin, serta kewajiban adanya rekomendasi majelis sebelum aparat penegak hukum dapat memproses ranah pidana.
Menurut mereka, seluruh tahapan wajib tersebut tidak dijalankan penyidik. Bahkan, Polda Babel dinilai tidak memiliki kewenangan menerima laporan awal dugaan pelanggaran medis, sebagaimana menurut Pasal 424 UU Kesehatan, di mana kewenangan tersebut berada pada PPNS atau MDP.
Hangga menegaskan bahwa gugurnya praperadilan bukan berarti permohonan mereka tidak berdasar.
“Ini soal pencatatan keberatan prosedural, soal bagaimana penegakan hukum harus berdiri dalam rel regulasi. Gugur secara formil tidak membuat substansi ini hilang,” ujarnya.
Sementara itu, sidang pokok perkara yang akan berlangsung pada 4 Desember mendatang menjadi titik krusial bagi perjalanan panjang proses hukum dr Ratna, yang selama ini mendapat dukungan luas dari komunitas medis di Bangka Belitung yang menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan.
(KBO Babel)






