![]() |
| Penulis: Decia Rahmadini Prawira,Jurusan Filsafat Hukum |
Pangkalpinang,Growmedia,indo,com-
Dalam berbagai perdebatan tentang hukum, sering kali kita dengar bahwa hukum adalah instrumen yang adil dan netral. Namun, gagasan ini mulai goyah ketika kita memasuki dunia filsafat hukum dan menggali lebih dalam pertanyaan: dari mana sebenarnya ide netralitas hukum berasal? Dan mengapa dalam kenyataan sehari-hari, hukum jarang terlihat benar-benar netral?
Konsep hukum normatif menggambarkan hukum sebagai standar yang sama bagi semua orang. Teori positivisme hukum yang dikemukakan H.L.A. Hart menegaskan bahwa validitas sebuah hukum tidak bergantung pada moralitas, melainkan pada cara hukum itu dibuat dan dijalankan. Secara teori, hukum tampak netral, tak bernilai, dan bersifat objektif. Namun, Hart sendiri mengakui bahwa praktik peradilan dan penilaian moral sulit dipisahkan, terutama ketika aturan tertulis tidak memberikan jawaban yang jelas.
Pendekatan kritis dari realisme hukum, terutama pandangan Jerome Frank, menegaskan bahwa keputusan hakim dipengaruhi oleh faktor sosial, psikologis, dan pengalaman personal. Sebab di balik setiap keputusan, terdapat manusia yang membawa latar belakang dan subjektivitasnya. Dengan kata lain, bagaimana mungkin hukum bisa netral, jika penerapannya selalu melalui lensa manusia yang tidak netral?
Lebih jauh, proses pembuatan aturan juga menyingkap ketidaknetralan hukum. Kekuasaan politik, kepentingan kelompok, dan ideologi sosial melekat pada setiap legislasi. Menurut Critical Legal Studies (CLS), hukum sering digunakan untuk mempertahankan status quo, bukan karena niat jahat pembuat aturan, tetapi karena setiap kelompok membawa perspektif dan kepentingannya sendiri saat menyusun undang-undang. Maka, netralitas hukum tidak lebih dari sebuah mitos yang sulit dipercaya.
Namun, ketidaknetralan hukum tidak selalu bersifat negatif. Di sinilah konsep rasa keadilan yang tak tertulis hadir – nilai-nilai seperti kehormatan, solidaritas, dan kepatutan yang tidak tercakup oleh aturan tertulis tetapi hidup dalam praktik sosial. Karena hukum tidak bisa mengatur seluruh aspek kehidupan, interpretasi memainkan peranan penting sebagai ruang debat akademis dan sosial tentang makna keadilan sesungguhnya.
Apakah interpretasi ini membuat hukum kacau dan tak pasti? Justru sebaliknya, interpretasi memungkinkan hukum berkembang dan beradaptasi. Doktrin hukum hidup menurut Eugen Ehrlich menegaskan bahwa hukum di masyarakat seringkali berbeda dari hukum tertulis. Hakim berfungsi sebagai korektor atas kekakuan aturan dengan memasukkan konteks sosial dan nilai-nilai yang tengah berkembang. Namun, ketidakadilan baru bisa muncul jika interpretasi tidak toleran atau diskriminatif.
Pengakuan bahwa hukum tidak netral bukan berarti kita harus menyerah pada relativisme. Agar putusan hukum tidak bergantung pada kehendak individu semata, kita tetap memerlukan aturan institusional, prosedur rasional, dan mekanisme pengawasan. Filsuf John Rawls menekankan pentingnya “keadilan sebagai keadilan” yang justru menuntut hukum mengambil sikap tidak netral terhadap ketimpangan sosial agar tercapai keadilan substantif. Dalam perspektif ini, netralitas absolut malah berisiko mempertahankan ketidakadilan sistemik.
Fenomena ketidaknetralan hukum juga jelas terlihat di Indonesia, seperti dalam masalah akses layanan hukum yang tidak merata, diskriminasi gender, dan perlakuan berbeda terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan status sosial. Namun, menyalahkan hukum saja tidak cukup. Penting pula melihat struktur sosial, ekonomi, dan politik yang menopang sistem hukum itu sendiri. Jika struktur tersebut tidak adil, maka hukum yang dihasilkan juga berpotensi tidak adil.Pada akhirnya, memahami bahwa hukum tidak sepenuhnya netral adalah hal yang lebih memanggil kita pada kejujuran intelektual, bukan penghinaan pada hukum itu sendiri. Karena hukum adalah ciptaan manusia yang tentu memiliki keterbatasan. Kejujuran ini membuka ruang bagi perbaikan berkelanjutan; dengan mengakui bias, kita bisa merancang sistem hukum yang berupaya meminimalkannya.
Rasa keadilan yang tak tertulis muncul sebagai kompas moral pelengkap aturan formal. Hukum memang sebuah ideal, namun ia selalu dalam proses ditafsirkan, dikritik, dan dikembangkan oleh manusia demi mencapai idealitas itu. Hukum tidak pernah benar-benar netral—dan mungkin memang tidak seharusnya begitu. Yang terpenting adalah memastikan ketidaknetralan itu menghasilkan kepekaan dan kepedulian untuk mewujudkan keadilan yang lebih manusiawi.





