Hilirisasi Lada Putih Inovatif: Jalan Bangka Belitung Menuju Keunggulan Kompetitif

Penulis: Annisa Latifatin Nabila Zahra
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung

Bangka Belitung, Growmedia,indo,com-

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah di Indonesia yang dikenal sebagai daerah penghasil timah, namun yang terjadi secara perlahan sektor tersebut mulai mengalami penurunan produktivitas serta adanya tekanan lingkungan terhadap sekitar yang cukup besar.

Berdasarkan data BPS (2025) nilai ekspor timah di Provinsi Kepualauan Bangka Belitung pada Bulan Oktober 2025 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan bulan Oktober 2024. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai ekspor pada Oktober 2025 sebesar US$ 113,78 juta yang mengalami penurunan sebesar 43,47 persen dibanding Oktober 2024. Terjadinya penurunan nilai ekspor tersebut tidak hanya berdampak pada pendapatan daerah tetapi juga akan berdampak pada pendapatan negara.

Selain dari aspek tersebut, adanya kegiatan penambangan timah yang dilakukan secara ilegal juga akan berdampak pada lingkungan sekitar. Penambangan timah ilegal yang dilakukan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan juga mengancam keberlangsungan hidup hewan sekitar.

Hal tersebut terjadi karena, aktivitas penambangan secara ilegal cukup sering beroperasi tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan aspek berkelanjutan untuk generasi di masa depan. Beberapa hal yang terjadi pada sektor timah tersebut menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah terutama oleh pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Tantangan demi tantangan yang terjadi tersebut, menjadikan sektor pertanian yang tersedia seperti lada putih, lada hitam, padi, dan juga hasil hortikultura berperan sebagai penopang bagi ketahanan ekonomi masyarakat. Salah satu komoditas pertanian yang terkenal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ialah lada putih.

Lada putih yang ada diketahui berasal dari Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat. Komoditas tersebut mulai dikembangkan sejak abad ke-17 walaupun masih dalam skala kecil. Meskipun komoditas lada putih telah lama menempati posisi penting dalam perdagangan dunia namun ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah menyebabkan nilai tambah komoditas tersebut belum optimal bagi peningkatan kesejahteraan petani dan daya saing daerah. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu inovasi hillirisasi yang menjadi strategi

penting untuk dapat membantu dalam meningkatkan daya saing khususnya pada komoditas lada putih di Provinsi Kepualauan Bangka Belitung.

Hilirisasi merujuk pada suatu proses pengolahan bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi yang siap dipasarkan (Widjadja, 2025). Akhmadi (2024) menyatakan bahwa dalam konteks bisnis, hilirisasi memiliki kemampuan untuk memperluas peluang pasar dan juga meningkatkan nilai produk.

Dengan kata lain, kegiatan hilirisasi dapat membantu produk yang dihasilkan oleh suatu daerah agar cakupan pemasarannya menjadi luas sehingga meningkatkan pendapatan daerah akan produk yang dihasilkan tersebut.

Selain itu, hilirisasi bukan hanya meningkatkan pendapatan petani dan pelaku usaha kecil akan tetapi juga menciptakan lapangan kerja serta dapat membantu memperkuat ketahanan pangan lokal (Arifin dan Dadang, 2025). Oleh karena itu, inovasi hilirisasi menjadi suatu strategi penting yang dapat dilakukan khususnya dalam hal ini yaitu inovasi pada komoditas lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sehingga dapat sedikit mengurangi ketergantungan terhadap sektor pertambangan seperti timah.

Pembangunan ekonomi di suatu daerah yang menerapkan teori Schumpeter dilakukan melalui proses creative destruction yaitu pergantian sistem lama dengan pembaruan yang memberikan nilai ekonomi baru.

Apabila dikaitkan dengan hilirisasi sektor lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, teori dari Schumpeter tersebut dapat relevan karena inovasi dari sektor pertanian seperti pengolahan komoditas pertanian seperti lada putih menjadi produk bernilai tambah dan dapat membantu dalam ketergantungan terhadap sektor pertambangan seperti timah yang sedang mengalami penurunan.

Dari inovasi pada teori Schumpeter ini terdapat lima bentuk inovasi yang terdiri dari pengenalan barang baru, metode produksi pembukaan pasar baru, sumber bahan baku baku serta perubahan dalam organisasi industri.

Melalui persepektif ini, hilirisasi dapat dikategorikan sebagai inovasi produk dan prosesnya yang dapat menciptakan pasar baru bagi lada putih, meningkatkan daya saing daerah, dan memperkuat kesejahteraan masyarakat.

Selain itu adanya peran dari bidang kewirausahaan dalam mendorong inovasi ekonomi melalui keberanian dalam mengambil risiko serta memanfaatkan peluang baru Dalam proses hilirisasi, petani, pelaku UMKM dan pemerintah daerah dapat berperan sebagai agen perubahan yang dapat mengubah komoditas dengan bahan baku mentah menjadi produk yang bernilai tambah.

Suatu inovasi memerlukan pelaku yang mampu memberikan gagasan atau ide baru dan menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Sehingga dari teori ini dapat dilihat bahwa hilirisasi merupakan strategi penting dalam membangun keunggulan bersaing daerah dan dapat membantu mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertambangan salah satunya yaitu timah.

Jika pada teori Schumpeter menekankan pada pergantian sistem lama dengan pembaruan agar memberikan nilai ekonomi yang baru, lain halnya dengan model Triple Helix yang menekankan bahwa inovasi dan pengembangan ekonomi bukan hanya bergantung pada pasar akan tetapi terbentuk melalui interaksi dinamis antara tiga pemeran utama yaitu pemerintah, perguruan tinggi atau penelitian, serta dunia bisnis (Etzkowitz dan Leydesdorff, 2000).

Adanya kolaborasi pemeran ini dapat menciptakan ekosistem inovasi yang memungkinkan transfer pengetahuan, pengembangan teknologi dan komersialisasi produk sehingga dapat meningkatkan daya saing daerah.

Pada proses hilirisasi lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, model Triple Helix sangat relevan sebagai suatu pendekatan strategis untuk dapat membangun koordinasi antar lembaga yang berguna dalam memperkuat nilai tambah komoditas lokal dan juga mengurangi ketergantungan ekonomi pada sektor timah yang mengalami penurunan.

Pemerintah memiliki peran penting sebagai pembuat regulasi, fasilitator akses pendanaan, serta penyediaan infrastruktur untuk mendukung industrialisasi pertanian apabila dihat dari perspektif daerah.

Pemerintah juga memberikan dukungan kebijakan hilirasasi yang diarahkan pada penguatan usaha tani khususnya lada putih, pembiayaan UMKM, serta promosi pasar yang dapat mempercepat proses inovasi.

Kemudian, peran dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian atau riset menjadi sumber inovasi teknologi yang mampu menciptakan produk turunan lada putih seperti minyak atsiri, ekstrak pangan, hingga produk farmasi melalui riset dan pengembangan.

Sedangkan peran dari sektor industri dan pelaku usaha berfungsi dalam proses komersialisasi, produksi, serta distribusi sehingga inovasi dapat memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi petani dan juga masyarakat.

Penerapan model Triple Helix mendukung strategi dari inovasi hilirisasi sebagai upaya dalam membangun keunggulan bersaing daerah melalui kolaboratif dan inovatif antara pemerintah daerah, akademisi, serta pelaku usaha.

Hal tersebut menunjukkan bahwa hilirisasi bukan sekedar proses teknis melainkan juga model pengembangan ekonomi berbasis sinergi dari pemeran inovasi untuk memajukan sektor pertanian strategis seperti lada putih.

Berbeda dari dua teori sebelumnya, teori Open Innovation yang dikembangkan oleh Henry Chesbrough pada awal tahun 2000-an menekankan pada pentingnya kolaborasi yang dilakukan antara perusahaan dengan berbagai pihak eksternal seperti universitas, lembaga penelitian atau bahkan konsumen dalam berjalannya proses inovasi.

Pada teori ini menganggap bahwa ide dan teknologi yang diperlukan untuk suatu inovasi bukan hanya berasal dari dalam organisasi tetapi juga dapat diperoleh dari luar. Chesbrough (2003) menyatakan bahwa kolaborasi dengan pihak eksternal menjadi kunci penting dalam mempercepat proses inovasi dan menciptakan produk yang memiliki nilai tambah.

Apabila dikaitkan dengan proses hilirisasi lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, teori ini sangat relevan untuk menciptakan inovasi dengan pihak luar yang dapat meningkatkan kapasitas teknologi dan pengetahuan dalam pengolahan lada putih. Pemerintah daerah, pelaku usaha, serta akademisi dapat melakukan kerja sama dalam mengembangkan produk dari lada putih yang berpotensi memperluas pasar dan meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut.

Penerapan teori Open Innovation yang dilakukan pada proses hilirisasi lada putih dapat membantu dalam meningkatkan daya saing daerah dengan cara memanfaatkan pengetahuan serta inovasi dari berbagai pihak.

Bukan hanya teori Schumpeter, model Triple Helix dan teori Open Innovation saja yang dapat diterapkan tetapi juga terdapat teori Value Chain atau rantai nilai yang juga membantu dalam proses hilirisasi dimana teori ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1985 oleh Michael Porter.

Pada teori ini menjelaskan bahwa setiap perusahaan memiliki serangkaian aktivitas yang dapat menciptakan nilai yang lebih pada produk atau jasa yang mereka tawarkan. Konsep dari teori ini berfokus pada bagaimana cara perusahaan agar dapat merancang, mengelola, dan memanfaatkan aktivitas-aktivitas bisnisnya untuk mencapai keunggulan bersaing.

Teori value chain pada proses hilirisasi lada putih di Bangka Belitung dapat diterapkan untuk memetakan setiap tahapan produksi dan distribusi dari bahan mentah hingga pada produk yang sudah jadi serta untuk dapat meningkatkan efisiensi dan juga daya saing dari produk tersebut.

Penerapan teori value chain dalam hilirisasi lada putih dapat membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi setiap tahapan dalam proses produksi dan distribusi yang pada akhirnya nanti akan mampu meningkatkan daya saing produk serta membuka peluang pasar baru baik di pasar domestik maupun internasional.

Keadaan ekonomi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan dinamika yang cukup beragam.

Berdasarkan dari data BPS (2025) pada tahun 2024 pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dimana PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) tercatat sebesar Rp 107,50 triliun dan PDRB per kapita mencapai sekitar Rp 70,19 juta. Pertumbuhan tahunan tersebut hanya sebesar 0,77 persen yang mana jauh lebih rendah dari pertumbuhan di tahun sebelumnya yaitu 4,38 persen. Jika dilihat dari sisi produksi, sektor yang membantu dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar ialah pertanian, kehutanan, serta perikanan.

Sementara itu jika dilihat dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi tumpuan utama. Sektor pertambangan terutama timah memang telah menjadi tulang punggung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk waktu yang cukup lama. Produksi timah di wilayah Bangka Belitung ini banyak menyumbang terhadap output nasional dan bahkan global.

Namun dalam proses penambangan baik yang dilakukan di darat maupun di daerah pantai atau laut membawa dampak lingkungan yang cukup serius seperti kerusakan hutan, degradasi lahan, penurunan kesuburan tanah, erosi, serta kerusakan ekosistem laut.

Adanya lubang bekas tambang timah yang tidak direklamasi menjadi masalah yang struktural dimana masalah tersebut menciptakan risiko jangka panjang diantaranya seperti kualitas lahan melemah, potensi lingkungan menurun dan dalam jangka panjang dapat menekan daya tarik daerah untuk melakukan investasi non-tambang.

Kerentanan terhadap fluktuasi harga serta cadangan timah, mendorong pemerintah daerah untuk mulai melakukan diversifikasi ke sektor lain salah satunya yaitu sektor pertanian.

Lada putih yang berasal dari Muntok Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menjadi komoditas unggulan sejak masa kolonial dan sampai kini masih tetap menjadi tumpuan ekonomi bagi banyak masyarakat khususnya masyarakat desa.

Data dari Kementrian Pertanian pada lima tahun terakhir yaitu 2018- 2022, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berkontribusi sebesar 37,48% dari total produksi lada nasional. Berdasarkan data BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2022) produksi lada yang dihasilkan dari perkebunan rakyat di Bangka Belitung tercatat mencapai angka 27.376,16 ton.

Hal ini menunjukkan bahwa lada bukan hanya komoditas skala kecil akan tetapi juga sebagai andalan yang cukup besar dalam menopang ketahanan ekonomi daerah.

Nilai tambah lada putih di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kini mengalami penyusutan karena adanya penurunan luas areal dan produktivitas tanaman lada.

Jika dilihat dari aspek agronomi, banyak tanaman lada yang ada di beberapa wilayah di Bangka Belitung menunjukkan defisiensi hara dikarenakan pemupukan yang dilakukan menggunakan dosis yang jauh lebih rendah dari yang dibutuhkan bahkan beberapa unsur hara yang dinilai penting juga sering diabaikan.

Terjadinya fluktuasi harga lada di pasar global serta lemahnya rantai pemasaran dan kurangnya diversifikasi produk membuat petani dan pedagang mengalami kesulitan dalam mendapatkan keuntungan yang layak sehingga meskipun lada sudah dipanen nilai ekonomisnya tetap rendah.

Adanya kombinasi dari faktor agronomis seperti perawatan tanaman dan bibit, perubahan lahan, serta kelemahan dalam struktur pemasaran seperti hilirisasi menjadikan daya saing lada putih di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melemah dan nilai tambah komoditas lada putih tersebut cukup sulit untuk dapat dipertahankan.

Oleh karena itu, jika dilihat dari potensi ekonomi dan historisnya, pemerintah dan juga pemangku kepentingan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mulai melakukan upaya hilirisasi dan revitalisasi agribisnis lada putih yang bukan hanya menjaga produksi bahan baku tetapi juga dapat membantu mengembangkan produk olahan tersebut.

Kegiatan hilirisasi terutama pada komoditas lada putih di Bangka Belitung bukan sekedar soal mengolah panen menjadi bentuk siap jual tetapi juga merupakan strategi kunci untuk dapat mengembalikan kejayaan komoditas unggulan daerah serta memperkuat daya saingnya di pasar global.

Lada putih Muntok atau biasa dikenal dengan Muntok White Pepper sering diekspor sebagai bahan baku mentah sehingga memiliki nilai jual di pasar dunia relatif rendah jika dibandingkan dengan lada yang sudah diolah menjadi produk bernilai tambah seperti lada bubuk kemasan, lada giling halus ataupun produk rempah-rempah premium.

Sehingga dibutuhkan suatu inovasi dalam bentuk hilirisasi dimana harga jual lada tersebut dapat meningkat. Upaya dari inovasi hilirisasi membantu dalam membuka peluang untuk dapat menerapkan standar kualitas seperti standar produksi dan pengolahan sehingga produk dari lada putih Bangka Belitung dapat berkompetisi di pasar ekspor terutama jika kualitas dan konsistensi dari produk tersebut dapat terjaga.

Selain itu upaya dari hilirisasi juga relevan dengan kondisi nyata dari sektor lada yang ada di wilayah Bangka Belitung yaitu adanya penurunan terhadap alih fungsi lahan.

Jika dilakukan secara kolektif dan juga terkoordinasi, maka hilirisasi mampu membawa kembali kejayaan lada putih atau Muntok White Pepper sebagai komoditas unggulan dari sektor pertanian yang memberikan daya saing komparatif maupun kompetitif bagi Bangka Belitung.

Melalui inovasi hilirisasi, lada putih dapat diperoses lebih lanjut menjadi produk olahan seperti lada giling premium, bumbu siap pakai ataupun rempah-rempah khusus pada makanan gourmet.

Adanya diversifikasi produk olahan pada lada putih ini dapat membantu meningkatkan konsumsi domestik maupun internasional dan juga memberikan nilai tambah jauh lebih tinggi jika dibandigkan dengan hanya menjual bahan baku mentah berupa biji lada. Keberadaan Indikasi Geografis (IG) untuk produk Muntok White Pepper memberikan keunggulan kompetitif karena dari segi kualitas, cita rasa dan reputasi produk sudah diakui.

Muntok White Pepper merupakan satu-satunya komoditas yang memiliki indikasi geografis dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Indikasi geografis dari Muntok White Pepper diterbitkan oleh Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Tanggal 15 April 2009 (Paramitha dan Fournita, 2024).

Agar proses hilirisasi pada lada putih tersebut dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan tindakan maupun langkah-langkah nyata yang dilakukan secara aplikatif yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. Diversifikasi Produk Olahan Lada putih
Salah satu strategi penting ialah mengolah lada putih menjadi produk bernilai tambah seperti lada bubuk premium, bumbu siap pakai, maupun rempah-rempah khusus untuk makanan gourmet. Diversifikasi produk ini dapat membantu meningkatkan permintaan domestik dan internasional dalam hal ini ekspor serta memberikan nilai tambah yang tinggi dibandingkan hanya dengan menjual bahan baku mentah. Hal ini akan membantu memperluas pasar dan juga meningkatkan pendapatan petani.

2. Penerapan Standar Kualitas dan Pengolahan
Menerapkan standar kualitas pada proses produksi dan pengolahan lada putih yang sangat penting untuk dapat meningkatkan daya saing di pasar global. Hal ini mencakup penggunaan teknologi pengolahan pascapanen yang tepat dan pengendalian kualitas produk untuk dapat memastikan konsistensi serta kualitas produk lada putih.

3. Kolaborasi antara Pemerintah, Pelaku Usaha, dan Akademisi ,Dalam menjalankan hilirisasi, kolaborasi antara berbagai pihak sangat penting. Pemerintah daerah dapat berperan dalam membuat kebijakan yang mendukung hilirisasi serta menyediakan fasilitas berupa pendanaan, sedangkan perguruan tinggi dan juga lembaga riset dapat membantu dalam pengembangan teknologi dan inovasi produk. Selain itu, sektor industri dan pelaku usaha juga bertanggung jawab dalam proses komersialisasi dan distribusi produk olahan dari lada putih tersebut.

4. Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi Pascapanen
Pengembangan infrastruktur yang mendukung dalam proses hilirisasi seperti fasilitas pengolahan dan distribusi yang efisien serta penerapan teknologi pascapanen yang inovatif dapat membantu meningkatkan kualitas serta daya saing produk lada putih. Pemerintah daerah juga berperan dalam menyediakan fasilitas ini serta mendorong adanya kolaborasi antara sektor pertanian dan industri.

5. Pemetaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Strategi berupa inovasi hilirisasi juga perlu didukung dengan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan seperti pemetaan potensi lahan dan pengembangan bibit lada yang berkualitas. Hal tersebut penting untuk memastikan kelangsungan produksi lada putih yang dapat bersaing di pasar global dalam jangka panjang.

Hilirisasi lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung penting untuk memfokuskan perhatian pada pengembangan dan penerapan standar kualitas produk lada putih.

Salah satu langkah strategis adalah dengan melakukan diversifikasi produk olahan. Hal ini bukan hanya meningkatkan nilai jual produk, tetapi juga dapat memperluas pasar domestik maupun internasional yang pada gilirannya dapat membantu meningkatkan pendapatan petani.

Untuk mendukung inovasi hilirisasi ini, penting juga untuk menerapkan teknologi pengolahan pascapanen yang tepat agar dapat menjaga konsistensi dan kualitas produk. Pendekatan berbasis standar kualitas ini akan memberikan daya saing yang lebih tinggi di pasar global dan membantu mendorong keberlanjutan dalam sektor pertanian.

Selain itu, adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, serta perguruan tinggi menjadi kunci keberhasilan dalam proses hilirisasi lada putih. Kolaborasi ini juga menciptakan suatu ekosistem inovasi yang dapat mempercepat proses hilirisasi dan dapat membantu untuk memperkuat daya saing lada putih serta menjadikannya komoditas unggulan dari sektor pertanian yang mampu bersaing di pasar global.

Pentingnya hilirisasi lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai strategi untuk meningkatkan daya saing daerah dan mampu memperkuat ekonomi lokal. Proses hilirisasi tersebut mencakup pengolahan lada putih menjadi produk bernilai tambah. Tidak hanya akan meningkatkan pendapatan dari petani tetapi juga dapat memperluas pasar domestik dan internasional.

Penerapan standar kualitas yang ketat serta adanya teknologi pascapanen yang tepat menjadi kunci untuk menjaga konsistensi dan kualitas produk lada putih sehingga produk tersebut dapat bersaing di pasar global. Selain itu, adanya kolaborasi yang erat antara pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi akan menciptakan ekosistem inovasi yang dapat mendukung keberhasilan hilirisasi.

Dengan demikian, inovasi hilirisasi lada putih dapat menjadi solusi untuk dapat mengurangi ketergantungan terhadap sektor pertambangan seperti timah dan juga dapat memperkuat ketahanan ekonomi daerah.

Ayo! Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan



نموذج الاتصال