![]() |
| Penulis opini: Andri Yanto |
Jakarta, Growmedia,indo,com-
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen serius untuk mengembangkan dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebagai salah satu pilihan sumber energi bersih dan ramah lingkungan. Target bauran energi baru dan terbarukan (EBET) telah ditingkatkan secara ambisius, dan mengacu pada dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), nuklir dipastikan akan masuk dalam bauran, untuk pertama kali, pada tahun 2032.
Sebelumnya, pada 26 Mei 2025, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia telah mengumumkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2025-2034, yang dalam kurun waktu 10 tahun kedepan, direncanakan pemerintah akan menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW. Penambahan ini mendekati kapasitas terpasang saat ini yang sebesar 87,77 GW. Target ambisius tersebut dicanangkan untuk menjawab kebutuhan ekonomi dan industri yang terus meningkat, dan proyeksi program hilirisasi sebagai bagian dari proyek besar swasembada pangan dan energi. Indonesia ditargetkan tumbuh 5-8%, dan ketersediaan energi menjadi faktor kunci.
Diantara pengembang teknologi yang telah menunjukkan keseriusan dalam membangun PLTN di Indonesia, adalah PT Thorcon Power Indonesia, yang saat ini sedang dalam tahap pelaksanaan evaluasi tapak.
Tulisan ini, terutama, ditujukan sebagai tanggapan atas pemberitaan yang diberitakan di sejumlah media massa, diantaranya pada laman jurnalindonesia.co berjudul “Komisi XII Sebut ThorCon Belum Bisa Tunjukkan 3 Lisensi Proyek PLTN di Pulau Gelasa”, yang, pada pokoknya, menyebutkan bahwa Thorcon perlu untuk memenuhi tiga bentuk izin, yakni license to design (izin desain), license to construct (izin konstruksi), dan licence to operate (izin operasi).
*Bentuk dan Tahapan Perizinan*
Tahapan pembangunan PLTN di Indonesia secara lengkap diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penatalaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Ketenagakuliran, yang pada Pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa, tahapan kegiatan untuk pembangunan PLTN meliputi Tapak, Konstruksi, Komisioning, Operasi, dan Dekomisioning. Setiap tahapan tersebut dilaksanakan dengan melalui proses perizinan, diantaranya Izin Tapak, Izin Konstruksi, Izin Komisioning, Izin Operasi, dan Izin Dekomisioning.
Pertama, Izin Tapak merupakan persetujuan awal yang memastikan bahwa lokasi pembangunan memenuhi persyaratan keselamatan. Evaluasinya mencakup kondisi geologi, seismologi, hidrologi, lingkungan, serta potensi dampak sosial. Tujuannya adalah memastikan bahwa tapak tidak menimbulkan risiko keselamatan bagi masyarakat dan dapat mendukung pembangunan fasilitas nuklir secara berkelanjutan.
Kedua, Izin Konstruksi diberikan setelah regulator menilai bahwa desain fasilitas dan dokumen keselamatannya memenuhi standar yang ditetapkan. Izin ini mengatur seluruh kegiatan pembangunan fisik, mewajibkan penerapan program jaminan mutu, dan memastikan bahwa proses konstruksi dilaksanakan sesuai desain yang telah disetujui. Setiap perubahan signifikan pada desain memerlukan persetujuan regulator.
Ketiga, Izin Komisioning diperlukan untuk melaksanakan serangkaian pengujian sebelum fasilitas dioperasikan. Tahap ini mencakup verifikasi fungsi sistem keselamatan, kesiapan operasional, serta pengujian reaktor pada berbagai tingkat daya. Regulator memastikan bahwa seluruh sistem berjalan sesuai desain dan operator terbukti kompeten.
Keempat, Izin Operasi merupakan izin yang memungkinkan PLTN mulai beroperasi secara komersial. Persyaratannya meliputi keberhasilan tahap komisioning, kesiapan prosedur operasi dan kedaruratan, serta kepatuhan terhadap pemantauan radiasi dan pelaporan berkala. Izin ini berlaku untuk jangka waktu tertentu dan memerlukan evaluasi ulang untuk perpanjangan.
Kelima, Izin Dekomisioning mengatur pembongkaran dan penutupan fasilitas pada akhir masa operasi. Proses ini mencakup penonaktifan sistem, pembersihan area, pengelolaan limbah radioaktif, serta verifikasi bahwa lokasi telah memenuhi standar keselamatan untuk penggunaan selanjutnya. Regulator memastikan bahwa tidak ada risiko radiologis yang tertinggal bagi masyarakat.
Kelima bentuk perizinan diatas wajib diperoleh secara bertahap, yang berarti bahwa suatu izin hanya dapat diperoleh setelah izin sebelumnya didapatkan. Pengembang teknologi tidak dapat, dengan batasan regulasi, mengajukan izin operasi sebelum memperoleh dan menyelesaikan Izin Tapak dan Izin Konstruksi.
*Tahapan Thorcon Saat Ini*
Thorcon, dalam usulan pembangunan PLTN Thorcon 500 di Pulau Kelasa, Kabupaten Bangka Tengah, masih berada pada tahapan perizinan yang pertama, yakni Izin Tapak. Terdapat beberapa persyaratan dasar yang perlu diperoleh, diantaranya adalah hasil Evaluasi Tapak, izin lingkungan (dalam bentuk AMDAL), dan kesesuaian tata ruang.
Pada 30 Juli 2025, Thorcon telah memperoleh persetujuan atas dokumen Persetujuan Evaluasi Tapak dan Sistem Manajemen Evaluasi Tapak (PET-SMET) oleh BAPETEN dalam Laporan Evaluasi Keselamatan Nomor Dokumen 20/LEK/DPIBN/L25. Persetujuan ini menjadi dasar untuk penelitian dan pemantauan mendalam di Pulau Kelasa, Bangka Tengah, sebelum pengajuan Izin Tapak. Bersamaan dengan pelaksanaan Evaluasi Tapak, Thorcon turut melaksanakan usaha untuk menyelesaikan dokumen AMDAL dan kesesuaian tata ruang.
Setalah memperoleh Izin Tapak, Thorcon dapat melanjutkan untuk mengajukan izin berikutnya, yakni Izin Konstruksi, dan dilanjutkan dengan Izin Komisioning, Izin Operasi, dan setelah mendekati masa operasi PLTN, Izin Dekomisioning.
Kembali pada pernyataan terkait kebutuhan Thorcon untuk memiliki license to design, license to construct, dan license to operate. Pertama, license to design atau Izin Desain tidak dikenal dalam regulasi Indonesia, padanan yang mungkin dapat dirujuk adalag Daftar Informasi Desain (Design Information Questionnaire) yang merujuk pada Pasal 1 Angka (24) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. DID adalah dokumen yang memuat informasi tentang Bahan Nuklir, meliputi bentuk, jumlah, lokasi, dan alur Bahan Nuklir yang digunakan, fitur fasilitas yang mencakup uraian fasilitas, tata letak fasilitas dan pengungkung, dan prosedur pengendalian Bahan Nuklir. Dokumen DID dipersyaratkan dalam pengajuan Izin Konstruksi, yang berarti, Thorcon belum berkewajiban menyerahkan DID kepada pemerintah.
Kedua, license to construct atau Izin Konstruksi, merupakan izin yang harus diperoleh sebelum melaksanakan pembangunan, dan baru dapat diajukan setelah memperoleh Izin Operasi. Saat ini, Thorcon belum pada tahapan untuk melakukan pengurusan Izin Konstruksi, dan masih berfokus pada penyelesaian Izin Tapak.
Ketiga, license to operate atau Izin Operasi, merupakan izin yang harus diperoleh sebelum melaksanakan operasi PLTN, dan baru dapat diajukan setelah memperoleh Izin Konstruksi. Saat ini, Thorcon belum pada tahapan untuk melakukan pengurusan Izin Operasi.
Dengan memahami alur regulasi tersebut, pernyataan bahwa Thorcon belum memiliki tiga bentuk perizinan sebagaimana disebutkan diatas, merupakan pernyataan yang terlalu dini dan tidak sesuai dengan tahapan serta perizinan pembangunan PLTN yang ditetapkan pemerintah dan BAPETEN.
Melangkah Maju, Menghadirkan Manfaat
Sebagai pengembang teknologi PLTN, Thorcon telah, dalam banyak kesempatan, menegaskan komitmen untuk mematuhi regulasi yang berlaku dan melaksanakan sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat. Implementasi pembangunan PLTN Thorcon 500 diproyeksikan untuk dapat memberikan manfaat luas bagi masyarakat, selain mampu berkontribusi pada penurunan emisi karbon dan mendorong pencapaian Net Zero Emission 2060.
Opsi sumber ekonomi yang handal bagi Bangka Belitung saat ini terbatas, dengan salah satu penyebab utamanya, adalah harga listrik yang tinggi untuk mendukung sektor industri skala besar. Investor dan pemerintah perlu berpikir berkali-kali sebelum membangun sentra industri di Bumi Serumpun Sebalai, dengan harga listrik tinggi, atau perlunya pemerintah memberikan subsidi dalam jumlah besar. Instabilitas energi karena sistem interkoneksi yang juga mensyaratkan banyaknya perbaikan, menjadi isu tersendiri yang perlu diatasi dengan solusi jangka panjang: sistem pembangkit independen yang stabil dan berdaya besar di Bangka Belitung. Penting pula, sistem pembangkit tersebut untuk bersih dan berharga kompetitif dengan batubara, dengan secara ekonomi dapat diterima (economically reasonable).
Kendati potensi surya cukup tinggi, mencapai hampir 1.800 MW menurut perhitungan penyinaran matahari rata-rata, namun harga yang diperlukan untuk produksi juga jauh lebih tinggi dari PLTU batubara saat ini, selain sifatnya yang intermitten dan bukan baseload (surya adalah peakload). Karenanya, opsi surya masih terbatas dalam perencanaan pemerintah untuk dikembangkan di Bangka Belitung.
Nuklir menawarkan solusi yang lebih baik. Faktanya, nuklir lebih aman, lebih stabil, lebih berdaya besar, lebih bersih, dan lebih kompetitif dibanding potensi energi baru dan terbarukan lainnya, terkhusus untuk Bangka Belitung.
Bagaimana menjelaskan bahwa nuklir adalah energi yang paling aman?
Tingkat risiko suatu sumber energi dapat dinilai secara objektif melalui death per terawatt hour, dan data dari ourworldindata.org menunjukkan kontras yang tegas antara persepsi dan realitas. Batubara menempati posisi paling berbahaya dengan 24,6 kematian per terawatt hour, disusul minyak bumi 18,4 kematian, biomassa 4,6 kematian, gas alam 2,8 kematian, serta energi air 1,3 kematian. Sebaliknya, sumber energi yang kerap dianggap aman seperti angin dan surya justru memiliki tingkat kematian yang sangat rendah, masing masing 0,04 dan 0,02. Pada titik ini, energi nuklir berada di 0,03, lebih aman daripada angin dan sangat mendekati surya. Statistik global ini mengindikasikan bahwa keselamatan nuklir bukanlah mitos melainkan fakta empiris yang konsisten, meskipun sering tertutupi oleh narasi yang tidak berbasis data..
Bahwa nuklir beresiko, dan telah terjadi tiga insiden sepanjang sejarahnya, adalah benar, dan hal yang sama terjadi, bahkan dalam skala dan frekuensi lebih besar, pada semua jenis energi, termasuk pada batubara, minyak bumi, dan gas alam. Setiap sumber energi menghasilkan resiko, namun berdasarkan statistiknya, nuklir tergolong diantara yang teraman.
Tidak mengherankan, bilamana dalam COP28, negara-negara pengguna PLTN di dunia berkomitmen untuk meningkatkan, hingga tiga kali lipat, energi nuklirnya pada 2050 mendatang. Nuklir jelas adalah pilihan yang mengesankan, tidak hanya secara ekonomi dan industri, tapi juga dalam perspektif lingkungan. Negara-negara maju menyadarinya, dan barangkali, dalam beberapa kasus, menarasikan hal sebaliknya kepada negara-negara berkembang agar tidak segera menyusul kemajuan.
Indonesia telah mengalami, sepanjang sejarahnya, beberapa kali kemunduran dalam industri teknologi akibat kampanye ketakutan (fearmongering) yang mempengaruhi kebijakan nasional dan pandangan publik. Misal, dalam industri dirgantara saat era reformasi, dimana Indonesia untuk pertama kali mampu menerbangkan pesawat N-250 Gatotkaca karya tangan ‘Mister Crack’ Habibie. Momen emas tersebut terkubur dalam-dalam karena intervensi Dana Moneter Internasional (IMF) yang mensyaratkan dihapuskannya subsidi dirgantara oleh pemerintah untuk memperoleh dana pinjaman. Ketakutan untuk menolak hal tersebut, menjadi alasan mendasar, tidak mampu bangkitnya negeri ini dalam industri dirgantara. Hal yang sama, di banyak industri teknologi, hingga kini sebagian besar produk industri tingkat tinggi yang digunakan sehari-hari adalah hasil impor dari negara lain, saat kita masih mengekspor kayu gelondongan dan produk agraria. Hal yang sepatutnya dapat dihindari, bila dahulu kita mampu merencanakan pembangunan ekonomi secara lebih baik.
Kini, Industri PLTN menawarkan alternatif dalam dunia energi. Kesempatan yang datang, dan tantangan baru untuk ditaklukan. Saatnya kita melihat teknologi baru dengan rasa penasaran, penasaran untuk memahami, untuk mengembangkan, dan untuk menguasai, bukan mencari-cari ketakutan dan menolaknya mentah-mentah, seperti yang kita lakukan di masa lalu. (*)





