Nuklir untuk Negeri: Mengakhiri Misinformasi dan Mendorong Lompatan Energi Indonesia

Penulis: Andri Yanto

Bangka Belitung, Growmedia,indo,com- Sekitar dua bulan lalu, Pemerintah Indonesia baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang memperbarui KEN sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. PP KEN merupakan bagian dari green legislation, seperangkat peraturan yang dikeluarkan untuk mendukung pencapaian transisi energi menuju Net Zero Emission. Tentu, sejumlah besar energi bersih diperbesar kontribusinya dalam bauran energi, dengan satu diantaranya adalah energi nuklir. Selasa (2/12/2025).

Nuklir adalah energi bersih. Menurut data UN IPCC, nuklir mengeluarkan emisi karbon setara 5-12 gram CO2 per kWh, yang hampir sama dengan angin dan surya. Sebagai perbandingan, batubara menghasilkan 750-1100 gram CO2 per kWh, dan gas alam 400-500 gram CO2 per kWh. Standar IPCC menempatkan energi dengan tingkat emisi dibawah 50 gram CO2 per kWh sebagai energi bersih, dan di Indonesia disebut sebagai kelompok energi baru dan terbarukan (EBT).

Kebijakan pemerintah untuk memasukkan nuklir dalam rencana bauran energi masa depan sudah tepat, terutama untuk menurunkan prosentase energi fosil. Saat PLTU memasuki masa phase-down, maka sumber energi pengganti dengan kemampuan menghasilkan daya yang besar, dapat dibangun di berbagai lokasi, berharga kompetitif, dan tidak bergantung pada cuaca dan iklim, sangatlah penting. Selain gas, sumber energi baseload yang dapat dimanfaatkan Indonesia adalah nuklir, tentu, setelah era oil bonanza telah berakhir sejak awal 2000-an.

Meski peran penting nuklir telah demikian detail diperhitungkan, dan kini memasuki masa kritikal untuk dibangun pertama kali pada 2023, namun, narasi-narasi ketakutan yang disebarkan secara terus-menerus tanpa dukungan data (fearmongering) masih terus menjadi tantangan. Kendati di satu sisi, kritik dapat memberikan perimbangan atas informasi yang disediakan oleh pengembang teknologi dan pemerintah, namun narasi tanpa dukungan data sebaliknya hanya akan menjadi upaya kontraproduktif, tidak hanya bagi proyek pembangunan yang direncanakan, melainkan juga terhadap masyarakat yang semakin jauh dari sikap kritis dan ilmiah.

Meluruskan Narasi

Beberapa artikel dengan narasi yang sama, menyimpulkan bahwa upaya PT Thorcon Power Indonesia dalam mendukung pembangunan PLTN skala kecil (small modular reactor/SMR) di Bangka Belitung merupakan modus untuk mengambil atau mengekspor thorium dan mineral strategis. Pernyataan dengan penyimpulan sendiri tersebut, diambil tanpa adanya, sedikitpun, data yang diverifikasi dan bahkan, tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Pertama, seluruh mineral radioaktif termasuk thorium dan uranium merupakan Bahan Galian Strategis yang berada di bawah kendali negara sesuai Undang Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Setiap bentuk eksplorasi, penambangan, pemrosesan atau perpindahan bahan nuklir hanya dapat dilakukan dengan izin badan regulator, sehingga tidak ada mekanisme legal yang memungkinkan perusahaan swasta mengambil atau memindahkan mineral tersebut tanpa persetujuan negara. Proyek PLTN Thorcon tidak memiliki izin penambangan dan tidak mengajukan permohonan tersebut. Klaim bahwa Proyek PLTN Thorcon hanya merupakan ‘modus’ tentu saja, dengan ketiadaan bukti maupun proses perizinan yang dilakukan, informasi yang tepat dan asumtif.

Kedua, tuduhan bahwa PLTN skala kecil tidak ekonomis dan karenanya menjadi indikasi motif tersembunyi mengabaikan karakteristik sistem kelistrikan wilayah kepulauan. Reaktor modular justru dirancang untuk menyediakan daya baseload yang stabil pada isolated grid, mengurangi kebergantungan pada BBM dan meningkatkan keandalan sistem jangka panjang. Pertimbangan ekonomi tidak dapat disederhanakan menjadi biaya per kWh tanpa memperhitungkan reliabilitas, kontinuitas pasokan dan beban subsidi energi fosil. Lebih dari itu, data ketenagalistrikan menunjukkan bahwa Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik di Bangka Belitung masih jauh lebih tinggi (~2.600 – 3.000 rupiah/kWh) dibandingkan dengan tarif dasar listrik (1.300 – 1.700 rupiah/kWh). Keekonomian PLTN, tentu, harus dapat memberi keuntungan untuk dapat dibangun. Nilai keuntungan ini dihitung melalui Power Purchase Agreement (PPA), antara pengembang dengan PT PLN (Persero), sebelum pembangunan dilaksanakan.

Ketiga, pembangunan dan pengoperasian PLTN berada sepenuhnya dalam pengawasan negara. Seluruh proses, mulai dari penetapan lokasi, kajian keselamatan, AMDAL, hingga izin pembangunan dan operasi, dikeluarkan oleh badan regulator serta melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. IAEA menjadi lembaga internasional yang secara langsung melakukan pengawasan atas seluruh tahapan perizinan tersebut. Tidak ada fasilitas nuklir yang dapat berdiri tanpa pengawasan ketat dari negara dan tanpa partisipasi publik yang diatur melalui mekanisme perizinan lingkungan. Proses ini dilakukan secara bertahap.

Keempat, isu bahwa mineral strategis dapat keluar melalui dalih riset tidak relevan. Perpindahan bahan nuklir tunduk pada izin ekspor impor yang diawasi oleh BAPETEN dan tercatat dalam sistem safeguards IAEA. Prosedur ini tidak memungkinkan terjadinya perpindahan bahan secara diam-diam atau di luar kerangka hukum. Kekhawatiran bahwa pihak pengembang dapat mengeluarkan bahan nuklir dengan cara tersebut, adalah bentuk pengabaian atas kerangka hukum yang telah diatur oleh pemerintah dan badan internasional, yang secara efektif melindungi keberadaan logam tanah jarang dengan prosedur ketat dan proses yang berlapis.

Lebih dari itu, bisnis PLTN dan bisnis mineral adalah dua sektor yang berbeda, dijalankan oleh perusahaan yang berbeda, dan hampir tidak pernah digabungkan di negara mana pun. Selama mengikuti aturan SDA nasional dan regulasi nuklir, pelaku usaha mineral dapat berjalan sendiri tanpa hubungan dengan industri PLTN. Tidak ada alasan untuk menganggap perusahaan PLTN otomatis berubah menjadi perusahaan tambang thorium. Thorcon merupakan perusahaan yang berfokus pada pembangunan dan pengembangan PLTN, bukan galian mineral.

Sejarah pengembangan PLTN di Indonesia memperlihatkan pola berulang, yaitu munculnya narasi yang berupaya mengaitkan proyek PLTN dengan kegiatan pertambangan mineral radioaktif. Narasi ini konsisten digunakan sejak era 1970an sebagai instrumen penolakan oleh kelompok yang menolak PLTN, sebagaimana terlihat pada kegagalan rencana PLTN Muria ketika opini publik digiring melalui isu keagamaan. Pola serupa kini diarahkan pada PLTN Bangka dengan menghidupkan kembali kekhawatiran terkait pertambangan, meskipun isu tersebut tidak memiliki relevansi langsung terhadap pembangunan fasilitas ketenagalistrikan berbasis nuklir.

Kerangka regulasi Indonesia justru menunjukkan pemisahan yang tegas antara sektor pertambangan dan sektor ketenagalistrikan. Aktivitas pertambangan dan mineral diatur oleh Undang Undang Nomor 2 Tahun 2025 dengan pengawasan Ditjen Minerba Kementerian ESDM, sedangkan mineral radioaktif diawasi tambahan melalui Undang Undang Nomor 10 Tahun 1997 oleh BAPETEN. Adapun sektor listrik diatur oleh Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 dengan regulator Ditjen Ketenagalistrikan, dan khusus pembangkit listrik tenaga nuklir juga tunduk pada Undang Undang Nomor 10 Tahun 1997 di bawah BAPETEN. Struktur hukum tersebut menegaskan bahwa PLTN merupakan domain ketenagalistrikan, bukan pertambangan, sehingga penyatuan keduanya dalam narasi publik lebih merupakan strategi untuk menghambat pembangunan PLTN pertama di Indonesia daripada refleksi kondisi regulatif yang sebenarnya.

Pada dasarnya, tidak terdapat satupun pendapat dalam narasi yang beredar tersebut, menunjukkan bukti sahih bahwa proyek PLTN hanya penutup dari agenda ekspor thorium. Sayangnya, meski tanpa bukti, narasi tetap diedarkan, bahkan tanpa terlebih dahulu meminta penjelasan dari pihak yang menjadi subjek tudingan. Sebuah langkah yang sangat disayangkan dalam perspektif jurnalisme yang, idealnya, menerbitkan berita secara berimbang.

Mendorong Industri Hulu-Hilir

Kekayaan alam, seberapapun banyaknya, tidak dapat memberi kemanfaatan langsung apabila tidak terdapat industri pendukung yang dapat mengolah dan meningkatkan nilai tambahnya. Indonesia adalah penghasil utama, meski tidak selalu yang terbesar, timah dan nikel di dunia. Namun, nilai manfaat yang diperoleh Indonesia masih kalah dibandingkan negara lain, karena ekspor hasil timah dan nikel yang belum melalui pengolahan untuk mendapatkan nilai tambah maksimal. Penyebabnya, adalah belum tersedianya industri hilir yang mampu menghasilkan komoditas jadi dari bahan-bahan galian tersebut.

Kekayaan uranium dan thorium, yang tentu merupakan komoditas penting dalam dekade mendatang dengan semakin meningkatnya upaya pembangunan PLTN oleh negara-negara di dunia, dapat mengalami nasib serupa. Tanpa didukung PLTN, Indonesia hanya akan menghadapi dua pilihan atas potensi besar uranium dan thoriumnya, menyimpan dan menunda pemanfaatannya sampai waktu yang tidak ditentukan, atau mengeksploitasi dan mengekspornya ke negara-negara pengguna lain, dan disaat yang sama, menggantungkan energi pada batubara dan gas alam (sebagai baseload). Skenario demikian tentu harus dihindari, dan untuk itu, industri hulu-hilir sektor ketenaganukliran di perlukan, tidak hanya untuk energi bersih, tetapi juga untuk menjamin pemanfaatan uranium dan thorium untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945).

Lalu, apa pentingnya PLTN pertama?

Berhasil terbangunnya PLTN pertama, alih-alih menjadi ‘modus’ bagi hilangnya uranium dan thorium, sebaliknya akan membangkitkan ekosistem industri hulu-hilir yang mensejahterakan. Terlebih, teknologi yang ditawarkan oleh Thorcon akan dilisensikan di Indonesia, oleh BAPETEN, yang berarti akan menjamin keterlibatan insinyur dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang signifikan. Indonesia akan lebih mudah mengembangkan industri PLTN dengan teknologi yang dikenalinya, dan dengan demikian, mendorong percepatan pemanfaatan uranium dan thorium untuk tujuan pembangkitan energi.

Mengacu pada pendapat pakar dalam opini yang terbit di media Tribunnews dan beberapa media lain baru-baru ini, kesempatan yang dihadirkan oleh Thorcon sebagai pengembang yang menunjukkan keseriusan dan komitmen tinggi, penting dipandang sebagai peluang. Alih-alih ancaman. Setiap teknologi dibangun dan dikembangkan dengan urutan yang sama, dan jangan sampai, kesempatan untuk memiliki PLTN itu kembali lenyap, sebagaimana pada rencana PLTN Muria pada awal 2000-an lalu, yang memaksa kita terus menggunakan energi fosil selama puluhan tahun berikutnya.

Stabilitas Listrik untuk Industri dan Hilirisasi

Opsi sumber ekonomi yang handal bagi Bangka Belitung saat ini terbatas, dengan salah satu penyebab utamanya, adalah harga listrik yang tinggi untuk mendukung sektor industri skala besar. Investor dan pemerintah perlu berpikir berkali-kali sebelum membangun sentra industri di Bumi Serumpun Sebalai, dengan harga listrik tinggi, atau perlunya pemerintah memberikan subsidi dalam jumlah besar. Instabilitas energi karena sistem interkoneksi yang juga mensyaratkan banyaknya perbaikan, menjadi isu tersendiri yang perlu diatasi dengan solusi jangka panjang: sistem pembangkit independen yang stabil dan berdaya besar di Bangka Belitung. Penting pula, sistem pembangkit tersebut untuk bersih dan berharga kompetitif dengan batubara, dengan secara ekonomi dapat diterima (economically reasonable).

Kendati potensi surya cukup tinggi, mencapai hampir 1.800 MW menurut perhitungan penyinaran matahari rata-rata, namun harga yang diperlukan untuk produksi juga jauh lebih tinggi dari PLTU batubara saat ini, selain sifatnya yang intermitten dan bukan baseload (surya adalah peakload). Karenanya, opsi surya masih terbatas dalam perencanaan pemerintah untuk dikembangkan di Bangka Belitung.

Nuklir menawarkan solusi yang lebih baik. Faktanya, nuklir lebih aman, lebih stabil, lebih berdaya besar, lebih bersih, dan lebih kompetitif dibanding potensi energi baru dan terbarukan lainnya, terkhusus untuk Bangka Belitung.

Bagaimana menjelaskan bahwa nuklir adalah energi yang paling aman?

Bukan berdasarkan asumsi, statistik dibawah ini, adalah data death per terra watt hour (kematian setiap 1 terrawat dari produksi listrik), dapat dirujuk sebagai berikut:



Berdasarkan data diatas, energi yang paling tinggi resiko adalah batubara, dengan tingkat kematian 24.6 per pembangkitan 1 terrawat, disusul oleh minyak bumi dengan 18.4 kematian per pembangkitan 1 terrawat, dan gas alam dengan 2.8 kematian. Nuklir bahkan lebih kecil dibandingkan dengan angin, dan hampir setara dengan surya. Apabila kita menilai bahwa angin dan surya sebagai ‘aman’, maka, demikian pula dengan nuklir. Ini adalah statistik yang dihitung sepanjang pembangkitan energi di dunia. Fakta, yang selalu tertutupi oleh narasi tanpa data pendukung pasti.

Bahwa nuklir beresiko, dan telah terjadi tiga insiden sepanjang sejarahnya, adalah benar, dan hal yang sama terjadi, bahkan dalam skala dan frekuensi lebih besar, pada semua jenis energi, termasuk pada batubara, minyak bumi, dan gas alam. Setiap sumber energi menghasilkan resiko, namun berdasarkan statistiknya, nuklir tergolong diantara yang teraman.

Tidak mengherankan, bilamana dalam COP28, negara-negara pengguna PLTN di dunia berkomitmen untuk meningkatkan, hingga tiga kali lipat, energi nuklirnya pada 2050 mendatang. Nuklir jelas adalah pilihan yang mengesankan, tidak hanya secara ekonomi dan industri, tapi juga dalam perspektif lingkungan. Negara-negara maju menyadarinya, dan barangkali, dalam beberapa kasus, menarasikan hal sebaliknya kepada negara-negara berkembang agar tidak segera menyusul kemajuan.

Indonesia hingga saat ini telah mengalami, beberapa kali kemunduran dalam industri teknologi akibat kampanye ketakutan (fearmongering) yang mempengaruhi kebijakan nasional dan pandangan publik. Misal, dalam industri dirgantara saat era reformasi, dimana Indonesia untuk pertama kali mampu menerbangkan pesawat N-250 Gatotkaca karya tangan ‘Mister Crack’ Habibie. Momen emas tersebut terkubur dalam-dalam karena intervensi Dana Moneter Internasional (IMF) yang mensyaratkan dihapuskannya subsidi dirgantara oleh pemerintah untuk memperoleh dana pinjaman. Ketakutan untuk menolak hal tersebut, menjadi alasan mendasar, tidak mampu bangkitnya negeri ini dalam industri dirgantara. Hal yang sama, di banyak industri teknologi, hingga kini sebagian besar produk industri tingkat tinggi yang digunakan sehari-hari adalah hasil impor dari negara lain, saat kita masih mengekspor kayu gelondongan dan produk agraria. Hal yang sepatutnya dapat dihindari, bila dahulu kita mampu merencanakan pembangunan ekonomi secara lebih baik.

Kini, Industri PLTN menawarkan alternatif dalam dunia energi. Kesempatan yang datang, dan tantangan baru untuk ditaklukan. Saatnya kita melihat teknologi baru dengan rasa penasaran, penasaran untuk memahami, untuk mengembangkan, dan untuk menguasai, bukan mencari-cari ketakutan dan menolaknya mentah-mentah, seperti yang kita lakukan di masa lalu. (Red)

Ayo! Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan



نموذج الاتصال