Grow Media - indo.com MUARA ENIM - Sengketa rumah Tunggu Tubang di Semende memasuki babak krusial dengan tampilnya Arwin Tino, S.H., M.H., seorang putra daerah yang mendedikasikan diri sebagai kuasa hukum Neliyana. Senin (20/10/2025).
Kehadirannya menjadi simbol perlawanan terhadap potensi ketidakadilan dalam proses hukum yang dinilai janggal oleh berbagai pihak.
Kasus ini bermula dari permohonan eksekusi yang diajukan oleh Ermiati, yang tertuang dalam Penetapan Pengadilan Negeri Muara Enim Nomor 3/Pdt.Eks/2025/PN Mre jo. Nomor 15/Pdt.G/2023/PN Mre jo. Nomor 7/PDT/2024/PT PLG jo. Nomor 4366 K/Pdt/2024,terhadap rumah yang terletak di Desa Pulau Panggung,kecamatan Semende Darat Laut,Kabupaten Muara Enim.
Dalam dokumen penetapan tersebut, Ermiati berposisi sebagai Pemohon Eksekusi, sementara Nellyana dan Ida Yati Kusuma sebagai Termohon Eksekusi I dan II.
Akar permasalahan ini dapat ditelusuri dari Putusan Perkara Gugatan Pengadilan Negeri Muara Enim Nomor 15/Pdt.G/2023/PN Mre tanggal 29 November 2023, yang menempatkan Ermiati sebagai Penggugat dan Nellyana sebagai Tergugat I.
Para pemangku adat, Taslim dan Dawari, melalui Palahul Intihan, putra dari Neliyana, telah mengambil langkah tegas dengan melaporkan dugaan pemalsuan surat hibah ke Polda.
Mereka berpendapat bahwa rumah Tunggu Tubang seharusnya tidak dapat diperjualbelikan, sebuah prinsip yang dijunjung tinggi dalam adat setempat. “Memang sebenarnya tidak boleh dijual,” tegas Taslim.
“Untuk ke depannya, kita menunggu proses hukum di Polda Sumsel.” Dawari menambahkan dengan nada optimis, “Jika masih kalah, kami siap membuatkan rumah Tunggu Tubang yang baru.”
Arison Rohim, seorang keturunan pemilik rumah Tunggu Tubang dari Palembang, turut angkat bicara.
Ia menyatakan ketidaktahuannya mengenai keberadaan surat hibah tersebut dan mempertanyakan urgensi diadakannya rapat mufakat adat sebelum hibah dilakukan.
Di tengah tensi yang meningkat, aparat TNI-POLRI hadir untuk menjaga stabilitas dan ketertiban di lapangan.
Arwin Tino, S.H., M.H., dengan penuh keyakinan, menyatakan komitmennya untuk membela Neliyana hingga titik akhir.
“Kami akan melakukan upaya hukum semaksimal mungkin dan memohon agar eksekusi ini ditunda dan akan mengupayakan untuk melakukan peninjauan kembali tetapi ika upaya hukum kami menemui jalan buntu, maka kami akan dengan sukarela meninggalkan rumah Tunggu Tubang ini,” ungkapnya.
Syukurlah, Pengadilan Negeri telah mengabulkan permohonan penundaan eksekusi tersebut hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
Namun, di balik penundaan ini, muncul gelombang pertanyaan dari masyarakat mengenai kinerja Pengadilan Negeri.
Bagaimana mungkin sebuah surat hibah yang tidak memenuhi standar formal, seperti yang diatur dalam Pasal 1682 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa
“Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah,” justru dimenangkan. ?
Kejanggalan-kejanggalan lain, mulai dari perbedaan tanda tangan hingga keabsahannya yang dipertanyakan, semakin memperkuat keraguan publik terhadap proses hukum yang telah berjalan.//karmin