gr Pariwisata Babel: Antara Euforia Investasi dan Ketertinggalan Regulasi


Pariwisata Babel: Antara Euforia Investasi dan Ketertinggalan Regulasi

Daftar Isi
Penulis: Decia Rahmadini Prawira Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Pangkalpinang, Growmedia,indo,com-

Pariwisata telah menjadi primadona baru dalam perekonomian daerah, Bangka Belitung (Babel) merupakan kawasan yang menyimpan potensi luar biasa dalam sektor pariwisata. Dikenal dengan pantai-pantai eksotis dan kekayaan geologis seperti Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, hingga destinasi Geopark Belitung yang telah diakui UNESCO. 

Bangka Belitung memiliki potesi besar menjadi daerah wisata kelas dunia. Kebudayaan lokal yang khas menjadikan Babel sebagai salah satu destinasi strategis nasional. Namun, di tengah geliat promosi dan investasi yang terus digencarkan, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana kesiapan hukum dan tata kelola daerah mendukung pengembangan sektor ini secara berkelanjutan?

Dalam kacamata hukum pemerintahan daerah, pengelolaan pariwisata tidak bisa dipandang sekadar sebagai program unggulan, melainkan sebagai bagian dari tata kelola otonomi daerah yang berbasis regulasi. 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan luas kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyelenggarakan urusan pariwisata. Namun, keleluasaan tersebut belum sepenuhnya dibarengi dengan kebijakan daerah yang kuat dan implementatif.

Salah satu masalah mendasar adalah minimnya Peraturan Daerah (Perda) yang secara spesifik mengatur zonasi pariwisata, standar pengelolaan destinasi, hingga mekanisme pelibatan masyarakat lokal. 

Beberapa investor yang masuk ke Babel bahkan mengeluhkan tumpang tindih izin antara pemerintah provinsi dan kabupaten, yang menyebabkan proyek pengembangan wisata sering mandek di tengah jalan. Hal ini menunjukkan lemahnya koordinasi lintas sektor dan lintas level pemerintahan.

Minimnya peraturan daerah (perda) sektoral yang fokus pada pariwisata menciptakan kekosongan hukum yang berdampak pada ketidakpastian bagi para pelaku usaha. 

Tumpang tindih perizinan antara provinsi dan kabupaten, lemahnya mekanisme zonasi kawasan wisata, serta absennya perangkat hukum yang melindungi hak masyarakat lokal dan lingkungan merupakan gambaran nyata lemahnya tata kelola.

Ironisnya, euforia terhadap pembangunan pariwisata seringkali menjebak pemerintah daerah dalam logika pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Pembangunan resort di kawasan pesisir, reklamasi pantai, serta eksploitasi kawasan wisata tanpa kajian lingkungan mendalam menjadi bukti bahwa pembangunan tidak selalu beriringan dengan keberlanjutan.

 Padahal, keberhasilan sektor pariwisata sangat ditentukan oleh keberlanjutan sumber daya dan kepercayaan masyarakat lokal terhadap arah kebijakan daerah.

Selain itu, belum optimalnya perlindungan terhadap lahan adat dan lingkungan hidup juga menjadi masalah serius. Di beberapa titik, pembangunan resort justru mengancam ekosistem pesisir dan merugikan masyarakat nelayan. 

Jika Pemda tidak segera membuat regulasi yang mengatur keseimbangan antara investasi dan konservasi, maka pariwisata justru akan menjadi ancaman baru bagi keberlanjutan sosial dan ekologis daerah.

Sebagai perbandingan, daerah seperti Bali dan Yogyakarta telah lama memiliki perda-perda yang mengatur desa wisata, peran masyarakat adat, serta insentif hukum bagi pelaku usaha berwawasan lingkungan. Keberhasilan Bali dan Yogyakarta dalam menetapkan Perda tentang Desa Wisata dan Badan Otoritas Pariwisata bisa dijadikan contoh konkret. 

Perda semacam ini memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif, serta memberi kepastian hukum bagi investor dalam menjalankan usahanya. 

Bangka Belitung pun perlu meniru langkah serupa, bukan hanya dalam bentuk aturan, tetapi juga dalam bentuk political will yang nyata. Babel seharusnya mulai bergerak ke arah yang sama, bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab administratif, tetapi sebagai langkah strategis memperkuat daya saing daerah dalam konteks otonomi.

Selain soal hukum dan kebijakan, pengembangan pariwisata Babel juga harus menjawab tantangan kualitas SDM dan infrastruktur dasar. Banyak destinasi yang cantik, tetapi sulit dijangkau karena akses jalan buruk atau transportasi publik yang belum memadai. 

Dalam hal ini, sinergi antara Pemda dan pusat sangat penting, terutama dalam proyek-proyek strategis nasional seperti konektivitas pelabuhan, bandara, dan jalan pariwisata. Dari perspektif hukum pemerintahan daerah, pembangunan sektor pariwisata tidak bisa dilepaskan dari prinsip tata kelola yang baik: transparansi, partisipasi, kepastian hukum, dan akuntabilitas. 

Jika prinsip-prinsip ini tidak dijadikan landasan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, maka pariwisata Bangka Belitung hanya akan menjadi euforia sesaat.

Sebaliknya, jika pengembangan pariwisata dilakukan dengan serius, berbasis hukum daerah yang kuat, serta mengedepankan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan, maka Babel tidak hanya akan menjadi primadona wisata Indonesia, tetapi juga model keberhasilan otonomi daerah berbasis pariwisata berkelanjutan.


Kesimpulan

Pengembangan pariwisata Babel harus dilakukan dengan serius, berbasis hukum daerah yang kuat, serta mengedepankan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Dengan demikian, Babel tidak hanya akan menjadi primadona wisata Indonesia, tetapi juga model keberhasilan otonomi daerah berbasis pariwisata berkelanjutan. Oleh karena itu, Pemda Babel perlu meniru langkah-langkah yang telah dilakukan oleh daerah lain, seperti Bali dan Yogyakarta, dalam mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan dan berbasis pada regulasi yang kuat.



Posting Komentar