Rasau jaya, Growmedia-indo.com.kuburaya– Sengketa lahan 335 hektar di Desa Rasau Jaya yang nyaris memicu bentrok pada Rabu (17/9/2025) semakin menyoroti ketimpangan klaim antara masyarakat dan PT. Rajawali Jaya Perkasa (RJP). Investigasi mengungkap, klaim warga diperkuat oleh dua hal fundamental: kepemilikan dokumen lengkap dan penguasaan fisik atas lahan yang telah berlangsung puluhan tahun, sementara dasar hukum klaim perusahaan masih samar dan tidak berupa sertipikat.
Berdasarkan pantauan di lokasi, lahan sengketa secara fisik jelas menunjukkan tanda-tanda penguasaan oleh warga.Parit pembatas yang mengelilingi area tersebut menjadi bukti nyata bahwa lahan ini telah diolah, dikelola, dan dikuasai oleh masyarakat setempat secara turun-temurun.Parit ini tidak hanya berfungsi sebagai pembatas, tetapi juga sebagai bagian dari sistem pengairan untuk lahan pertanian warga.
“Klaim kami bukan tanpa bukti. Kami memiliki dokumen lengkap yang menunjukkan legalitas kepemilikan sejak 1998.Lahan ini secara fisik adalah hidup kami, kami yang mengolah, kami yang memagari, dan kami yang menjaganya. Perusahaan datang tiba-tiba dengan klaim yang dasar hukumnya tidak jelas,dugaan hanya bermodal izin lokasi atau konsesi kehutanan yang tumpang tindih dengan hak kami,” tegas salah seorang masyarakat, representasi legal warga, dengan menunjukkan setumpuk dokumen yang mencakup surat-surat dari instansi pemerintah setempat.
Sebuah plang di lokasi sengketa yang dipasang warga mencantumkan nomor register dan keterangan desa, semakin mengukuhkan klaim mereka. Plang itu juga memperingatkan ancaman pidana berdasarkan KUHP bagi yang memasuki area tanpa izin—sebuah langkah yang dilakukan warga untuk melindungi asset mereka secara hukum.
Dasar Hukum Perusahaan Dipertanyakan
Di sisi lain, klaim PT. RJP diduga kuat hanya berdasarkan pada Izin Lokasi dari pemda atau Izin Usaha dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk pemanfaatan hutan. Izin-izin ini bukanlah alas hak kepemilikan (sertipikat) seperti yang dimiliki warga, melainkan izin usaha untuk mengelola suatu kawasan yang status tanahnya masih bisa diperdebatkan.
“Mereka (PT. RJP) tidak memiliki sertipikat HGU apalagi sertipikat hak milik. Alas hak mereka lemah karena hanya izin operasional, sementara warga memiliki bukti penguasaan fisik dan dokumen kepemilikan(SKT)yang telah diakui desa bertahun-tahun. Ini adalah konflik klasik antara hak masyarakat yang sah dan klaim konsesi korporat,” jelas seorang pengamat agraria setempat yang enggan disebut namanya.
APH dinilai Lamban dan Tidak Berpihak
Kesenjangan ini semakin nyata dalam respons penegak hukum. Warga telah berulang kali melaporkan upaya pengambilalihan lahan oleh perusahaan, namun laporan mereka mangkrak. Sebaliknya, laporan dari PT. RJP—yang kemungkinan melaporkan warga atas tuduhan gangguan usaha atau perambahan—langsung ditindaklanjuti oleh Aph setempat.
“Ini merupakan bentuk ketidakadilan yang terang-terangan. Kami yang memiliki bukti kuat justru dipersulit, sementara perusahaan dengan klaim lemah justru didukung oleh proses hukum yang cepat. Kami meminta Kapolres untuk bersikap adil dan transparan,” imbuh seorang warga.
Hingga berita ini diturunkan, Kapolres Kubu Raya belum ada klarifikasi mengenai alasan perbedaan penanganan ini. Kubu Ginting, perwakilan PT. RJP, juga belum dapat dimintai konfirmasi untuk membeberkan dasar hukum klaim perusahaannya.
Konflik ini memerlukan intervensi segera dari Bupati Kubu Raya. Pemerintah daerah didesak untuk melakukan verifikasi dan audit agraria menyeluruh dengan memprioritaskan bukti penguasaan fisik dan dokumen warga, serta mencabut izin-izin yang tumpang tindih dengan pemukiman dan lahan masyarakat yang sah. Eskalasi kekerasan hanya dapat dicegah dengan keadilan yang ditegakkan tanpa memihak./kzn