Bara dalam Sekam itu Akhirnya Terbakar.

Table of Contents
Bara dalam Sekam itu Akhirnya Terbakar. 

SURAKARTA-growmedia-indo.com
Di balik hingar-bingar rutinitas harian, terkumpul kekecewaan mendalam terhadap arogansi penguasa dan kekerasan aparat. Sejak era reformasi 1998, janji-janji perubahan kerap kandas dalam relung birokrasi yang semakin jauh dari suara rakyat. Kebijakan publik tampak lebih menguntungkan kalangan elit, sementara aspirasi masyarakat bawah terkungkung dalam praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi yang merajalela. Ketika demokrasi di kangkangi, undang undang HAM diabaikan, celah kekecewaan pun membesar. Beragam persoalan terus menumpuk tanpa solusi konkret, menciptakan bara dalam hati yang siap meledak kapan saja (29/08/2025).

Momentum itu terpantik ketika tragedi Baracuda di Pejompongan, Jakarta, menewaskan seorang driver ojek online. Ia bukan sekadar angka, ia adalah simbol perjuangan keluarga yang sehari-hari menanggung beban biaya hidup dengan mengandalkan ojek daring. Hilangnya nyawa rekan mereka menjadi pemantik kemarahan terpendam. Rasa sakit mendalam menyatu dengan kesal atas lambannya pemerintah merespons persoalan ojol satu dekade belakangan, tuntutan tarif yang adil dan payung hukum regulasi ojek online yang tak kunjung usai. Alih-alih dialog, seringkali yang muncul adalah aksi represif, intimidasi, dan penangkapan peserta demo. Hal ini seolah semakin memperkuat anggapan bahwa pemerintah tidak pernah benar-benar mendengar jeritan rakyat kecil.

Tri Prasongko Putro seorang peserta aksi bahkan berkaca kaca ketika menyaksikan aparat dengan bengisnya menembakan gas air mata dan peluru karet tanpa prosedur yang komprehensif. Terlebih melihat tragedi Baracuda di Pejompongan yang dengan tega menghilangkan nyawa seorang rekan. “Ini adalah gelombang puncak muak dengan keadaan” paparnya. 

Dalam sebuah perbincangan Tri Prasongko juga mempertanyakan “Bagaimana sebenarnya pola pikir mereka ?, seragam dan kelengkapan persenjataan itu adalah dari uang dari rakyat guna perlindungan keamanan, tapi apa yang kita dapatkan hari ini, justru itu semua dipakai buat menyakiti dan melukai hati rakyat serta masyarakat kecil.” ujarnya 

Dirinya merasakan sangat prihatin dengan kondisi bangsa ini, dan berpesan agar semua rekan yang turun aksi tetap waspada dan jangan sampai ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan sesat oknum tertentu. Meski adalah sebuah kewajaran bila dalam beberapa hari terakhir, nyala api solidaritas akan menjalar bak api liar.

Animo solidaritas yang begitu besar tersebut tidak hanya didominasi oleh driver. Namun juga Mahasiswa yang jenuh dengan pendidikan mahal dan lapangan kerja terbatas pun turut bergabung. Organisasi kemasyarakatan mengawal aspirasi yang meluas, mulai dari kebijakan tarif hingga janji reformasi perundangan. Penolakan atas perlakukan aparat semakin lantang. Di medan aksi, spanduk bertuliskan tuntutan “Tarif Layak, Perlindungan Penuh” dan “Reformasi Total Segera” berkibar, menjadi wujud keberanian bersuara.

Namun wajib diwaspadai, tekanan juga muncul dari kalangan oportunis yang menumpang solidaritas. Beberapa aksi berubah anarkis ketika segelintir orang sengaja memanfaatkan kerumunan untuk melakukan pembakaran fasilitas publik. Warung, halte, serta beberapa bangunan publik yang tak luput dari ceceran api dan pecahan kaca. 

Terpisah info terkini headline news 
dan trending medsos, di beberapa lokasi, bahkan hingga malam ini bentrokan dengan aparat tak terelakkan, korban berjatuhan tidak hanya dari demonstran, tapi juga petugas keamanan. Suasana kian memanas, ketegangan antara keadilan sosial dan kekuasaan semakin tajam. Rakyat di satu sisi berseru minta perubahan, di sisi lain dikepung oleh tembakan gas air mata dan kaleng berisi peluru karet.

Kondisi ini tentunya memunculkan kekhawatiran, negeri yang beberapa tahun lalu tampak bergeliat dalam pertumbuhan ekonomi kini tampak terserang penyakit serius. Kesenjangan sosial terlampau besar, ruang dialog kian sempit, dan kepercayaan terhadap institusi makin luntur. Bila tak segera ada langkah evaluasi menyeluruh, bara ini akan berubah menjadi kobaran yang meluluhlantakkan tatanan. Ini bukan sekadar masalah ojol atau tarif, melainkan refleksi kegagalan menyeluruh, buruknya manajemen krisis oleh pemerintah, lemahnya pengawasan korupsi, serta minimnya akuntabilitas pejabat publik.

Tri Prasongko Putro menegaskan, apa yang dibutuhkan kini adalah reformasi total, bukan retorika setengah hati. Pertama, aparat keamanan harus ditekankan untuk lebih humanis dalam menangani demonstrasi. Tindakan represif bukan jawaban, dialog konstruktif dengan perwakilan rakyat dan komunitas harus menjadi protokol baku. Kedua, reformasi regulasi ojek online mendesak untuk menjamin tarif layak, jaminan sosial, payung hukum undang-undang yang jelas, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang adil. Ketiga, penegakan hukum terhadap korupsi dan nepotisme harus dipercepat agar kepercayaan publik dapat dipulihkan. Keempat, mekanisme evaluasi kebijakan harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat, memperluas ruang aspirasi hingga ke tingkat desa dan kelurahan. Puncaknya adalah penindakan dan sanksi kepada pelaku insiden Baracuda dan mundurnya pucuk pimpinan yang telah gagal mengkondisikan situasi massa aksi.

Tak kalah penting, masyarakat sendiri perlu menahan emosi agar tidak mudah terprovokasi. Solidaritas yang lahir dari kepedihan harus dikokohkan dengan semangat persaudaraan, bukan dipakai untuk agenda tersembunyi. Tokoh masyarakat, akademisi, hingga tokoh agama wajib memainkan peran penengah, menjaga agar unjuk rasa tetap dalam koridor damai. Media massa pun memikul tanggung jawab besar, pemberitaan yang objektif dan komprehensif dapat meredam hoaks dan ujaran kebencian yang memecah belah.

“Hari ini, bara yang sekian lama tersembunyi akhirnya meletup perlahan di permukaan.” tegasnya. Rakyat yang lelah menuntut perubahan tak lagi mampu berpura-pura diam. Dari gang sempit kampung hingga sudut kota besar, semua menuntut kepastian bahwa suara mereka dihargai. Pemerintah berkali-kali ditegur, tetapi jika masih bersikap abai, keretakan sosial akan semakin dalam. Negara yang sakit akan semakin kesakitan. Namun, harapan masih ada ketika semua pihak, pemerintah, masyarakat sipil, aparat keamanan, hingga pebisnis, berani duduk bersama membahas akar persoalan dan menyusun peta jalan reformasi.

Akhirnya, tugas kita bersama adalah mengubah bara kemarahan menjadi energi produktif. Bukan dengan melumat, melainkan membangun. Indonesia yang membutuhkan kebijakan pro-rakyat yang nyata, transparan, dan berkelanjutan. Mari gandeng tangan bersama, kita dapat meredam api yang membara, memadamkan amarah yang memecah, dan menyalakan harapan baru. Semoga langkah-langkah konkret segera diambil, agar negeri ini tidak terus terkoyak oleh bara dalam sekam yang menunggu momentum letusan terdahsyatnya lagi.

( Pitut Saputra )

Posting Komentar