gr Hope in Uncertainty: Civil Society’s Journey through Challenges and Emerging Opportunities


Hope in Uncertainty: Civil Society’s Journey through Challenges and Emerging Opportunities

Daftar Isi
Jakarta, 23 Juni 2025 – Demokrasi global mengalami penurunan signifikan. Economist Intelligence Unit (EIU) dan Freedom House menunjukkan turunnya skor rata-rata global dari 5,5 menjadi 5,1 sejak 2014, dan kebebasan global menurun selama 16 tahun berturut-turut hingga 2024. Indonesia mendapatkan status “demokrasi yang cacat” dan “sebagian bebas” (Civicus, 2023). Regresi demokrasi mulai sejak 2014 ditandai dengan pelemahan institusi, meningkatnya represi terhadap aktivis, dan serangan terhadap kebebasan berpendapat. Praktik seperti jual-beli suara, aliansi oligarki, dan politik transaksional patron-klien masih mendominasi.
Tuduhan organisasi masyarakat sipil (OMS) sebagai “antek asing” dan mengadu domba, hingga serangan terhadap pembela HAM kerap terjadi. Tantangan ini diperparah dengan menurunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi seperti penegak hukum, militer, dan polisi, yang dikhawatirkan tidak lagi netral. 
“Hari ini kita berada di posisi yang sangat tidak menentu. Krisis iklim semakin buruk, ruang demokrasi mengecil, melebarnya ketimpangan, disrupsi digital mengubah cara kita beradvokasi. Namun, di tengah ketidakpastian ini, terdapat harapan dengan munculnya aktivisme orang-orang muda dan model-model baru gerakan solidaritas”, ujar Direktur Eksekutif INFID Siti Khoirun Ni’mah dalam acara diskusi 40 tahun INFID di Jakarta, bertajuk “Hope in Uncertainty: Civil Society’s Journey through Challenges and Emerging Opportunities” pada Senin, 23 Juni 2025.Menurut Hans Antlov, pakar politik Indonesia asal Swedia, sekaligus aktivis yang bekerja bersama INFID (dahulu INGI) sejak era Orba, tren pemerintahan di Indonesia saat ini mengarah pada “unitary executive”, yaitu mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan presiden dan minim oposisi. “Jika trias politika tidak berjalan, suara warga negara menjadi sangat penting”, tegas Hans. Hans menambahkan, aktivisme mahasiswa juga menjadi hal yang sangat penting.
Sejumlah momentum mencerminkan betapa krusialnya peran gerakan masyarakat sipil dalam menjaga demokrasi. Seperti misalnya gerakan #SaveRajaAmpat yang membuat pemerintah mencabut 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua. Kemudian gerakan Peringatan Darurat yang membatalkan UU Pilkada di 2024, hingga lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 2022. Ada pula gerakan kolektif masyarakat sipil yang belum menampakkan keberhasilan, seperti UU Cipta Kerja. Pakar politik Indonesia asal Amerika Serikat, Sidney Jones, melihat perlunya OMS menilik kembali taktik dan strategi advokasi dengan kondisi politik hari ini.
“Upaya mengkonsolidasikan advokasi pada OMS semakin sulit pascareformasi. Banyak elemen pada agenda OMS terwujud pada Pemerintahan Habibie, pada pemerintahan Megawati, dengan sejumlah pengecualian, dan pada pemerintahan Gusdur. Sementara hari ini, agenda OMS yang sukses adalah agenda yang bisa dikatakan sempit atau terfokus”, jelas Sidney Jones, yang juga sudah terlibat advokasi bersama INFID (dahulu INGI) sejak 1985. 
Di saat yang sama, gerakan masyarakat sipil lokal hingga global tengah menghadapi sejumlah pergolakan. Di tingkat global, munculnya gerakan sayap kanan yang didorong oleh sentimen anti-migrasi di Eropa dan Amerika Serikat, serta manipulasi informasi melalui media sosial dan teknologi, menambah kompleksitas lingkungan kerja OMS.
​​”Anggaran pembangunan internasional dikurangi secara drastis akibat populisme atau kemunduran sayap kanan, persenjataan Eropa, konflik seperti di Ukraina dengan Rusia, serta tekanan global akibat isolasionisme AS”, papar Ben Witjes, pengamat pembangunan asal Belanda, yang juga sudah terlibat advokasi bersama INFID (dahulu INGI) sejak 1986.
Tantangan pendanaan untuk pembangunan sebagai bagian dari komitmen global juga menjadi isu kritis. Banyak organisasi internasional mengalihkan fokus dari isu demokrasi, HAM, dan pembangunan ke isu seperti perubahan iklim. Sementara itu, negara-negara Eropa mengurangi anggaran kerjasama pembangunan akibat tekanan geopolitik, seperti konflik di Ukraina. Hal ini memaksa OMS untuk menyesuaikan program yang dapat melemahkan tujuan jangka panjang gerakan.
“Di seluruh dunia kita melihat semakin banyaknya pemerintahan yang represif dan mereka akan lebih bertentangan dengan NGO. Akan lebih banyak pengawasan terhadap keuangan NGO, akan lebih banyak larangan terhadap program tertentu, dan akuntabilitas NGO akan semakin disorot. Atas alasan tersebut, hidup akan semakin sulit”, terang Sidney Jones. INFID Sebagai Simpul Gerakan
INFID yang memasuki usia 40 tahun pada Juni 2025 merefleksikan perjalanan panjangnya dalam mempromosikan hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial di Indonesia dan panggung internasional. INFID lahir pada masa Orde Baru, di mana ruang sipil sangat terbatas dan represi terhadap aktivis merupakan hal yang umum. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, INFID mampu bertahan empat dekade dan terlibat dalam berbagai inisiatif, mulai dari memantau kebijakan pembangunan, memperkuat demokrasi, hingga mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. 
Di tengah tantangan hari ini, rekognisi INFID dengan status konsultatif spesial Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) pada 2004 merupakan pencapaian penting. Status ini memungkinkan INFID untuk membawa suara OMS Indonesia ke forum internasional dan mempengaruhi kebijakan global terkait pembangunan dan HAM. 
Sejak 1985, INFID lahir sebagai jaringan dan akan selalu menjadi marwah gerakannya, baik di Indonesia maupun internasional. INFID dan 80 anggotanya berkomitmen untuk memperkuat perannya sebagai OMS berbasis anggota melalui advokasi berbasis bukti, narasi solidaritas tanpa batas, mendorong komitmen perubahan di seluruh level, serta menuntut akuntabilitas negara dan korporasi. INFID menyadari pentingnya pemanfaatan media sosial untuk mengamplifikasi inspirasi dari keberhasilan kecil warga (small win), menyampaikan pesan dan advokasi secara efektif kepada publik dan pembuat kebijakan, memastikan isu-isu kunci demokrasi dan keadilan sosial didengar dan dipahami warga, sehingga mendorong tindakan kolektif akar rumput. 
“Waktu telah membuktikan satu hal bahwa peran masyarakat sipil menjadi fondasi penting dalam demokrasi. Perannya mutlak, tak bisa dikesampingkan dalam pembangunan dan bahkan semakin relevan pada kondisi hari ini”, pungkas Ni’mah. 

Posting Komentar