Efektivitas Instrumen Hukum Lingkungan dalam Menghadapi Fenomena Greenwashing di Bangka Belitung
![]() |
Penulis:Decia Rahmadini Prawira Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung |
Pangkalpinang, Growmedia,indo,com-
Fenomena _greenwashing_ di Bangka Belitung telah menjadi masalah serius yang merusak citra lingkungan dan merugikan publik. Meskipun regulasi lingkungan di Indonesia sudah cukup lengkap, implementasinya masih lemah dan kurang efektif. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan sistematis untuk mengatasi masalah ini.
*Kekuatan dan Kelemahan Regulasi Lingkungan di Indonesia*
Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup lengkap untuk mencegah _greenwashing_, seperti UU No. 32/2009 dan sistem pelabelan lingkungan (SNI EcoLabel, PROPER KLHK). Namun, implementasi regulasi ini masih lemah dan kurang efektif dalam mengatasi kasus _greenwashing_. Contohnya, kasus TI di Belitung yang merusak mangrove tanpa izin pada 2021 menunjukkan bahwa penegakan hukum lambat dan belum efektif.
*Contoh Kasus Greenwashing di Bangka Belitung*
Kasus _greenwashing_ di Bangka Belitung telah merusak lingkungan dan merugikan publik. Contohnya, perusahaan tambang yang mempromosikan diri sebagai "ramah lingkungan" tanpa tindakan nyata telah merusak hutan dan lahan seluas 167.104 ha dan degradasi mangrove seluas 10.858 ha. Selain itu, kasus korupsi tambang timah yang melibatkan banyak pihak telah merugikan negara hingga Rp 271 triliun dan merusak ribuan hektare ekosistem berupa hutan, sungai, dan pesisir.
*Solusi untuk Mengatasi Greenwashing*
Untuk mengatasi _greenwashing_, perlu dilakukan beberapa hal, seperti:
1. Menetapkan standar baku untuk klaim lingkungan dan mengharuskan verifikasi oleh pihak independen.
2. Memperkuat peran PROPER dan penegak hukum untuk mengawasi komunikasi publik serta melakukan audit berkala.
3. Mendorong gugatan masyarakat dan NGO sebagai bentuk litigasi publik.
4. Menyediakan akses hukum pendampingan litigasi berbasis keadilan lingkungan.
*Pelajaran dari Eropa*
Negara-negara Eropa seperti Belanda dan Jerman telah memiliki pengalaman dalam mengatasi _greenwashing_. Mereka telah menetapkan standar baku untuk klaim lingkungan dan mengharuskan verifikasi oleh pihak independen. Selain itu, mereka juga telah memperkuat peran lembaga pengawas dan penegak hukum untuk mengawasi komunikasi publik serta melakukan audit berkala. Contohnya, pengadilan Amsterdam melarang KLM menggunakan narasi "terbang berkelanjutan" karena menyesatkan konsumen.
*Peran Nilai-Nilai Kultural dan Keislaman*
Dalam budaya Melayu Bangka Belitung, alam adalah amanah leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Pepatah lokal menyebut: "Air, hutan, dan laut tak boleh kita rusak, kecuali menyesal tidak ada pulihnya". Dari perspektif keislaman, manusia adalah khalifah yang wajib memelihara bumi (QS 2:30) dan menjaga amanah dan keadilan. _Greenwashing_ adalah bentuk tipu daya yang melanggar prinsip amanah dan keadilan, karena menipu publik dan mengaburkan dampak kerusakan nyata.
*Kesimpulan*
_Greenwashing_ di Bangka Belitung telah menjadi masalah serius yang merusak citra lingkungan dan merugikan publik. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan sistematis untuk meningkatkan efektivitas instrumen hukum lingkungan. Dengan demikian, institusi hukum dapat dipertanggungjawabkan, korporasi dapat diawasi, dan masyarakat dapat diberdayakan dalam menjaga amanah bumi. Bangka Belitung harus bisa mengambil pelajaran dari Eropa dan menyesuaikannya dengan konteks lokal agar _greenwashing_ tak lagi leluasa menyusup ke dalam izin lingkungan dan kepentingan masyarakat.
Posting Komentar