gr Polemik SPK di Puri Ansell: Penambang Resmi Terpinggirkan, Ponton Misterius Bebas Produksi


Polemik SPK di Puri Ansell: Penambang Resmi Terpinggirkan, Ponton Misterius Bebas Produksi

Daftar Isi

Bangka, Growmedia,indo,com-
Polemik soal legalitas penambangan ponton isap produksi (PIP) kembali mencuat di kawasan Puri Ansell, Kabupaten Bangka. Sejumlah penambang yang telah mengikuti prosedur verifikasi demi mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PT Timah Tbk, justru mengeluhkan nasib mereka yang terkatung-katung tanpa kepastian hukum. Jumat (30/5/2025).

Ironisnya, di tengah ketidakpastian itu, muncul belasan ponton milik salah satu CV mitra PT Timah yang diduga justru leluasa beroperasi di lokasi yang sama, memicu dugaan terjadinya pelanggaran prosedur dan lemahnya pengawasan internal.

“Kami sudah penuhi semua syarat dari awal tahun. Ponton kami diverifikasi, biaya operasional sudah keluar besar. Tapi sampai sekarang SPK dan silo belum keluar. Sementara ponton-ponton lain bisa langsung kerja, bahkan di tengah-tengah kami,” keluh salah satu penambang, yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya praktik tidak transparan dalam penetapan kuota dan penerbitan SPK oleh pihak internal PT Timah, khususnya di bawah kendali kepala produksi wilayah Bangka Utara. Penambang resmi yang berharap bekerja legal justru terpinggirkan, sementara aktivitas ponton “siluman”—yang diduga tidak seluruhnya memiliki SPK—beroperasi dengan aman.

*Penertiban Parsial dan Masuknya Ponton Baru*

Situasi kian memanas pasca penertiban yang dilakukan Satuan Polairud Polres Bangka pada Selasa (20/5/2025) lalu. Puluhan ponton ilegal disingkirkan dari lokasi wisata Puri Ansell. Namun, malam sebelum penertiban, masuklah belasan ponton milik CV TIN yang disebut-sebut telah mengantongi SPK resmi.

“Katanya mereka cuma dapat jatah 15 SPK. Tapi yang masuk bisa puluhan. Ini tidak adil. SPK yang katanya legal malah mengusir kami yang sudah lama nunggu kepastian,” imbuh sumber lain.

Direktur CV TIN, Rizky, saat dikonfirmasi media menyatakan bahwa pihaknya hanya menangani 15 unit ponton sesuai SPK yang dikeluarkan. Namun, pengakuan tersebut berbeda dengan fakta lapangan yang menyebut jumlah ponton aktif di wilayah itu jauh lebih banyak.

*Analisa Hukum: SPK, SOP, dan Potensi Pelanggaran*

Fenomena ini tidak hanya mengganggu rasa keadilan para penambang, tetapi juga membuka celah pelanggaran terhadap sejumlah aturan hukum yang mengatur tata kelola pertambangan.

Pertama, sesuai *Pasal 35 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara*, setiap kegiatan penambangan wajib berada dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sah dan harus dilengkapi dengan dokumen perizinan teknis seperti Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta SPK yang disahkan oleh pemilik IUP, dalam hal ini PT Timah Tbk.

Kedua, *Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2020* menegaskan bahwa pemegang IUP harus menjamin kegiatan operasional mitra atau subkontraktornya sesuai dengan RKAB dan tidak keluar dari wilayah yang ditetapkan. Apabila ponton beroperasi tanpa SPK atau di luar wilayah IUP, maka hal ini bisa dikategorikan sebagai *penambangan tanpa izin (PETI)*, yang melanggar hukum pidana sebagaimana tertuang dalam *Pasal 158 UU Minerba* dan dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.

Ketiga, apabila terdapat praktik diskriminatif atau pemberian izin kerja secara tidak adil dan tertutup, maka hal ini dapat masuk dalam ruang lingkup dugaan *maladministrasi*, yang bisa dilaporkan ke *Ombudsman Republik Indonesia* sesuai UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.

*Desakan Transparansi dan Penegakan Hukum*
Situasi ini memunculkan dorongan kuat dari para penambang dan masyarakat agar PT Timah melakukan evaluasi internal, terutama terhadap kepala produksi dan mitra kerja yang diduga memainkan peran dalam distribusi “SPK bayangan.” Pengawasan dari aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian dan Dinas ESDM, juga diharapkan bisa lebih aktif dan tidak tebang pilih dalam penertiban.

“Kalau memang tidak legal, harusnya semua ditindak. Jangan yang resmi malah digeser, sementara yang ‘koordinasi’ dengan oknum bisa bebas kerja. Ini mencederai rasa keadilan,” tegas penambang lainnya.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak PT Timah Tbk, pengawas tambang, maupun aparat pengamanan di lokasi.

Awak media masih berupaya mendapatkan klarifikasi dari pihak terkait, khususnya soal dugaan kolaborasi antara ponton liar dengan aktivitas legal di wilayah IUP PT Timah.

Skema SPK seharusnya menjadi instrumen legalisasi aktivitas rakyat dalam ruang IUP milik BUMN seperti PT Timah.

Namun ketika pelaksanaannya tidak transparan, tidak adil, dan lemah dalam pengawasan, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan publik dan meningkatnya potensi konflik sosial-ekonomi di lapangan.

Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya ditentukan oleh hukum tertulis, tetapi juga oleh keberanian para pihak untuk menegakkannya secara konsisten. (KBO Babel)

Posting Komentar