![]() |
| Opini Nuklir Dalam Peta Diplomasi Energi Masa Kini Oleh: Penulis: Andra Dihat Putra, S.Kom., FMVA. Economics and Innovation Policy Analyst. |
Bangka Belitung, Growmedia,indo,com-
Setiap era memiliki sumber kekuatan baru. Dulu kekuatan ekonomi ditentukan oleh siapa yang memiliki minyak, namun kini peta dunia bergeser dan energi bersih menjadi kunci geopolitik abad ke-21. Di tengah perubahan ini, energi nuklir kembali muncul sebagai sumber daya strategis, bukan hanya untuk listrik, tetapi juga untuk kedaulatan dan posisi global sebuah bangsa. Data terbaru menunjukkan bahwa pembangkitan listrik dari energi nuklir pada 2023 mencapai sekitar 2.602 terawatt-jam atau sekitar 9,15 persen dari total listrik dunia, dengan kapasitas global mencapai 374,7 gigawatt dari lebih dari 400 reaktor aktif. Rabu (5/10/2025).
International Energy Agency (IEA) memperkirakan kapasitas tersebut akan meningkat menjadi sekitar 647 gigawatt pada 2050, menandakan kebangkitan nuklir sebagai bagian penting dari strategi dekarbonisasi dunia. Pada 2024, energi bersih secara keseluruhan, termasuk nuklir, angin, surya, dan hidro, telah melampaui 40 persen dari total pembangkitan listrik global, memperlihatkan arah baru ekonomi dunia yang berorientasi pada keberlanjutan dan kemandirian energi.
Energi dan Arah Dunia yang Sedang Berubah
Perang di Ukraina, krisis gas di Eropa, dan kenaikan harga minyak dunia membuktikan bahwa energi tidak pernah netral; ia selalu menjadi alat tawar-menawar politik. Ketika pasokan energi terganggu, bahkan negara maju pun bisa kehilangan stabilitas. Kini, negara-negara besar seperti Tiongkok dan Rusia memanfaatkan teknologi energi bersih, terutama nuklir, sebagai sarana memperluas pengaruh global. Mereka tidak hanya mengekspor bahan bakar, tetapi juga menawarkan paket pembangunan reaktor, pembiayaan, dan kerja sama teknologi jangka panjang—menciptakan ketergantungan strategis di antara negara penerima.
Dalam peta baru ini, kemandirian energi menjadi bentuk kedaulatan baru. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri akan lebih tahan terhadap gejolak ekonomi dan tekanan global, sementara negara yang bergantung pada pasokan energi asing akan lebih rentan secara politik. Dengan demikian, di abad ini, kekuasaan tidak lagi hanya ditentukan oleh siapa yang memiliki minyak, tetapi oleh siapa yang menguasai teknologi energi bersih dan mampu menjamin keberlanjutan serta kemandirian energinya sendiri.
Posisi Indonesia dalam Peta Energi Dunia
Posisi Indonesia dalam peta energi dunia kini berada di titik strategis yang menentukan arah masa depan kawasan Indo-Pasifik. Dengan populasi besar dan pertumbuhan industri yang terus meningkat, kebutuhan listrik nasional melonjak pesat, menjadikan Indonesia bukan hanya pasar energi yang penting, tetapi juga calon pemain utama dalam lanskap energi global. Saat ini, lebih dari 80 persen pembangkitan listrik Indonesia masih ditopang oleh batu bara dan gas. Namun, sejalan dengan komitmen menuju net zero emission pada tahun 2060, ketergantungan ini harus secara bertahap dikurangi. Berdasarkan proyeksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan kapasitas listrik nasional diperkirakan menembus lebih dari 500 gigawatt pada 2060—naik hampir lima kali lipat dari kapasitas saat ini yang berkisar di angka 110 gigawatt.
Dalam konteks ini, energi nuklir tidak lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan strategis yang realistis. Pemerintah Indonesia telah menempatkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) serta menetapkan target pengoperasian komersial pertama sekitar tahun 2033, sejalan dengan langkah-langkah menuju pembangunan Small Modular Reactor (SMR) sebagai fase awal.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, membangun teknologi nuklir memiliki makna yang jauh melampaui sekadar penyediaan listrik. Ini adalah langkah menuju kemandirian ilmu pengetahuan, penguatan basis industri, dan peningkatan kapasitas teknologi nasional. Energi nuklir menghadirkan stabilitas pasokan yang tidak bergantung pada kondisi cuaca maupun volatilitas harga bahan bakar fosil global.
Lebih dari itu, penguasaan teknologi reaktor dapat memperkuat posisi diplomasi energi Indonesia di tingkat kawasan, terutama di tengah meningkatnya persaingan teknologi energi bersih antara Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ketika banyak negara masih mencari solusi penyimpanan energi atau berdebat soal harga karbon, negara yang menguasai teknologi nuklir akan memiliki voice of confidence dalam percaturan energi global.
Contoh nyata dapat dilihat dari Korea Selatan dan Uni Emirat Arab, yang melalui investasi jangka panjang di sektor nuklir berhasil meningkatkan posisi tawar mereka dan memperluas pengaruh strategisnya. Indonesia memiliki peluang serupa—asal berani berinvestasi dalam inovasi, membangun sistem regulasi yang kredibel, dan memastikan bahwa setiap langkah menuju energi nuklir dijalankan dengan prinsip keselamatan, transparansi, serta kedaulatan nasional sebagai fondasi utamanya.
Nuklir Sebagai Instrumen Kedaulatan Energi
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, membangun teknologi nuklir berarti lebih dari sekadar mencari sumber listrik. Ia berarti membangun kemampuan ilmiah, industri, dan teknologi dalam negeri.
Energi nuklir menghadirkan stabilitas pasokan yang tidak bergantung pada cuaca atau impor bahan bakar. Di sisi lain, penguasaan teknologi reaktor juga memperkuat posisi diplomasi energi Indonesia di kawasan. Ketika negara lain masih berdebat soal penyimpanan energi atau harga bahan bakar fosil, negara yang menguasai teknologi nuklir bisa berbicara dengan keyakinan.
Negara-negara seperti Korea Selatan dan Uni Emirat Arab telah menjadi bukti konkret bagaimana investasi jangka panjang di bidang nuklir dapat mengubah peta kekuasaan energi dan memperluas pengaruh global mereka. Korea Selatan, misalnya, kini menjadi salah satu eksportir utama reaktor nuklir berteknologi tinggi, sementara Uni Emirat Arab—yang dulunya hanya dikenal sebagai produsen minyak—berhasil mengoperasikan empat unit PLTN Barakah yang menyediakan listrik bersih dan stabil bagi ekonominya.
Indonesia memiliki peluang serupa untuk menapaki jalur kemandirian dan ketahanan energi, asalkan berani berinvestasi dalam inovasi, riset, serta membangun sistem regulasi yang kredibel dan dipercaya publik. Di era baru energi bersih ini, kedaulatan bukan lagi hanya tentang siapa yang memiliki sumber daya alam, tetapi tentang siapa yang menguasai teknologi untuk mengolahnya secara berkelanjutan dan berdaulat.
Teknologi Aman untuk Dunia yang Berubah
Persepsi terhadap nuklir sering kali masih dibayangi oleh citra masa lalu, padahal teknologi reaktor modern telah berubah secara fundamental. PT Thorcon Power Indonesia adalah salah satu perusahaan yang aktif mendorong pembangunan PLTN di Indonesia, dengan menawarkan teknologi Thorcon 500 berjenis molten salt reactor atau reaktor garam cair, teknologi generasi baru yang beroperasi dengan prinsip keselamatan pasif. Dalam sistem ini, bahan bakar nuklir dicampur dengan garam cair yang berfungsi sekaligus sebagai pendingin dan penstabil suhu. Ketika suhu reaktor meningkat, bahan bakar cair akan mengembang dan secara otomatis memperlambat reaksi fisi. Jika terjadi gangguan atau kondisi darurat, bahan bakar cair tersebut mengalir ke tangki penampung di bawah reaktor, dan reaksi pun berhenti dengan sendirinya tanpa memerlukan intervensi manusia.
Desain seperti ini tidak menggunakan tekanan tinggi, sehingga risiko ledakan maupun kebocoran radiasi menjadi sangat kecil. Selain itu, reaktor generasi baru ini juga dapat menggunakan thorium, bahan bakar alternatif yang lebih melimpah di alam dan menghasilkan limbah radioaktif dengan masa paruh yang jauh lebih pendek dibandingkan uranium konvensional. Dengan prinsip keselamatan yang melekat pada desainnya dan efisiensi penggunaan bahan bakar yang tinggi, teknologi Thorcon menunjukkan bahwa energi nuklir masa depan bukan lagi sumber ketakutan, melainkan fondasi baru bagi energi bersih, aman, dan berkelanjutan di Indonesia.
Selain itu, sistem modular yang dikembangkan oleh Thorcon membuat pembangunan reaktor bisa lebih cepat dan efisien. Komponen reaktor dapat diproduksi di pabrik, dikirim ke lokasi, dan dirakit dengan presisi tinggi. Pendekatan ini mempercepat adopsi teknologi dan membuka ruang bagi keterlibatan industri nasional. Teknologi ini tidak hanya menjawab tantangan energi, tetapi juga membuka peluang kerja sama internasional di bidang riset, pendidikan, dan manufaktur. Indonesia dapat menjadi pusat inovasi nuklir di kawasan, bukan sekadar konsumen teknologi dari luar.
Ketahanan Energi dan Nilai Strategisnya
Dalam dunia yang tidak pasti, ketahanan energi adalah bentuk asuransi ekonomi. Ketersediaan listrik yang stabil dan bersih menjadi prasyarat bagi investasi industri, kendaraan listrik, dan manufaktur berdaya saing tinggi. Dengan memadukan energi terbarukan dan nuklir, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil dan mengendalikan biaya produksi listrik. Dalam jangka panjang, hal ini memperkuat neraca perdagangan dan mengurangi tekanan fiskal akibat subsidi energi.
Lebih jauh lagi, ketahanan energi juga memperkuat posisi diplomasi Indonesia. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan listriknya dengan teknologi sendiri akan lebih berdaulat dalam menentukan kebijakan luar negerinya.
Energi selalu menjadi fondasi kemajuan. Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang mampu menguasai sumber energinya sendiri akan menentukan arah industrinya dan masa depan ekonominya. Kini, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah baru, era ketika energi bersih bukan lagi sekadar komitmen moral terhadap lingkungan, melainkan strategi ekonomi, politik, dan kedaulatan. Dalam konteks ini, teknologi nuklir modern, seperti yang dikembangkan oleh Thorcon, menawarkan peluang nyata bagi Indonesia untuk mencapai dua tujuan besar sekaligus, menghasilkan energi bersih yang andal serta memperkuat kemandirian nasional di bidang teknologi tinggi.
Di tengah gejolak geopolitik dan ketidakpastian global, pilihan terhadap energi nuklir, khususnya teknologi inovatif seperti Thorcon, bukan sekadar pilihan teknologi, tetapi keputusan rasional untuk menjamin masa depan bangsa yang berdaulat dan berdaya saing. Kedaulatan suatu negara kini tidak lagi diukur dari luas wilayah atau besar pasukan militernya, melainkan dari seberapa kuat ia mampu menyalakan listriknya sendiri secara mandiri dan berkelanjutan.
Dalam dunia yang digerakkan oleh energi, kemampuan menyediakan pasokan listrik bersih dan stabil adalah lambang kekuatan modern. Nuklir, dalam konteks ini, menjadi simbol rasionalitas, stabilitas, dan keyakinan diri bangsa yang ingin berdiri tegak di atas fondasi pengetahuan serta kemampuan teknologinya sendiri, bangsa yang bukan hanya mengikuti arus transisi energi global, tetapi siap memimpinnya. (Red)





