Pangkalpinang, Growmedia,indo,com–
“Hukum macam apa ini…” demikian kalimat pembuka penuh emosi yang diucapkan oleh Marwan laman Facebooknya, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, saat menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menjatuhkan vonis enam tahun penjara terhadap dirinya. Sabtu (8/10/2025).
Nada kecewa itu keluar setelah perjalanan panjang kasus yang disebut masyarakat sebagai “kasus pisang tumbuh sawit” memasuki babak baru yang tak disangka. Dalam perkara tersebut, Marwan awalnya dinyatakan *bebas murni* oleh Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang.
Namun, di tingkat kasasi, MA justru mengabulkan permohonan jaksa dan menjatuhkan hukuman enam tahun penjara.
“Saya sangat kecewa. Dalam persidangan, sudah jelas siapa pelaku yang sebenarnya. Tiga perusahaan bahkan telah mengakui keterlibatannya. Tapi anehnya, mereka justru tidak diproses hukum dan masih bebas berkeliaran,” ujar Marwan dengan nada getir, Sabtu (8/11/2025).
Tiga perusahaan yang dimaksud Marwan adalah PT Bangka Agro Mandiri (BAM) yang disebut-sebut terkait dengan Rudianto Tjen, PT SAML yang dipimpin oleh Datu Ramli Sutanegara, dan PT FAL yang dikomandoi Joni Laurence.
Ketiganya, menurut Marwan, sudah mengakui adanya aktivitas pengelolaan lahan sawit di luar izin yang sah.
Namun, entah mengapa, hingga kini proses hukum terhadap ketiga korporasi tersebut belum juga berjalan. Sementara dirinya — pejabat yang hanya menjalankan fungsi administratif dan pengawasan — justru dijadikan pihak yang bertanggung jawab penuh dan menerima vonis penjara.
“Ini bentuk kezaliman hukum yang nyata. Saya tidak menanam sawit, tidak mendapat keuntungan apa pun, tapi saya dikorbankan seolah menjadi pelaku utama. Sementara perusahaan-perusahaan besar yang mengeruk keuntungan justru dibiarkan,” tegasnya.
Kasus ini berawal dari temuan aktivitas perkebunan sawit ilegal di lahan yang semestinya menjadi kawasan rehabilitasi lingkungan, yang dikenal publik dengan istilah “kasus pisang tumbuh sawit.”
Dalam persidangan sebelumnya, sejumlah fakta menunjukkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh pihak swasta tanpa rekomendasi BLHD. Namun dalam perkembangan proses hukum, fokus penyidikan justru beralih ke pejabat pemerintah.
Banyak kalangan menilai, vonis kasasi terhadap Marwan menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Aktivis hukum dan lingkungan menyoroti adanya indikasi kriminalisasi terhadap pejabat publik yang menjalankan tugas sesuai prosedur.
“Putusan ini perlu dikaji ulang. Bila benar tiga perusahaan sudah mengakui perbuatannya, maka yang harus bertanggung jawab adalah pelaku utama, bukan aparatur pengawas. Jika hukum hanya tajam ke bawah, maka kepercayaan publik terhadap lembaga hukum akan makin runtuh,” ujar salah satu pengamat hukum di Pangkalpinang yang enggan disebutkan namanya.
Marwan sendiri mengaku akan menempuh upaya hukum luar biasa berupa *Peninjauan Kembali (PK)*. Ia berharap keadilan sejati masih bisa ditegakkan.
“Saya akan lawan. Ini bukan semata soal saya pribadi, tapi soal prinsip keadilan. Jika hukum terus berpihak pada yang kuat dan membungkam yang lemah, maka negeri ini akan terus terpuruk dalam ketidakadilan,” tandasnya.
Kasus Marwan menjadi potret getir wajah penegakan hukum di daerah, di mana pejabat pengawas lingkungan justru menjadi korban sistem yang seharusnya melindungi.





