Skandal Kekerasan di Lapas Tanjung Pandan: CPNS Jadi Korban, Keluarga Menuntut Keadilan

Tanjung Pandan, Growmedia,indo,com– Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Tanjung Pandan diguncang skandal serius yang menyeret nama Kepala Lapas (Kalapas) Royhan AI Paisal. Jum'at (19/9/2025).

Ia diduga melakukan kekerasan brutal terhadap seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Syafik Abdi, pada pertengahan September 2025.

Peristiwa ini bukan hanya melukai fisik korban, tetapi juga menimbulkan trauma mendalam dan pertanyaan besar tentang budaya kekerasan yang mungkin mengakar di balik tembok lapas.

*Kronologi Mencekam: Dari Panggilan Biasa Menjadi Mimpi Buruk*

Berdasarkan informasi yang dihimpun, insiden bermula pada 16 September 2025 ketika Syafik Abdi dipanggil menghadap Kalapas Royhan AI Paisal.

Agenda yang seharusnya rutin berubah mencekam saat Kalapas menuduh sang CPNS tidak sopan hanya karena berani menatap matanya secara langsung.

Kemarahan diduga meledak tak terkendali. Kalapas disebut-sebut melakukan tindakan fisik yang jauh melampaui batas kewenangan seorang atasan.

Syafik Abdi dicekik, ditampar, bahkan dipaksa melakukan push-up tanpa henti selama 30 menit.

Penyiksaan ini membuat korban mengalami cedera serius pada tangan dan akhirnya harus dilarikan ke RSUD Marsidi Judono Tanjung Pandan untuk mendapat perawatan intensif.

Bagi seorang CPNS yang baru menapaki jalan pengabdian di institusi pemasyarakatan, peristiwa ini jelas menjadi pukulan telak. Alih-alih mendapatkan bimbingan dan pembinaan, ia justru merasakan kekerasan yang mengancam keselamatan dan menorehkan trauma psikologis mendalam.

*Jeritan Keluarga: Luka Fisik dan Batin Tak Bisa Ditawar*

Kabar dugaan kekerasan ini segera sampai ke telinga keluarga korban. Abubakir, yang mewakili keluarga, mengaku terpukul dan tidak bisa menerima perlakuan yang dialami Syafik.

Baginya, tindakan Kalapas bukan sekadar pelanggaran disiplin, melainkan bentuk kejahatan yang tak bisa ditoleransi.

“Kami menuntut keadilan ditegakkan seadil-adilnya. Kalapas harus bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Ini bukan hanya tentang Syafik, tetapi juga tentang mencegah kejadian serupa terulang di masa depan,” tegas Abubakir dengan nada geram.

Pernyataan keluarga tersebut menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa diselesaikan dengan cara internal semata.

Mereka bertekad membawa persoalan ini ke ranah hukum agar ada kepastian dan keadilan.

*Tamparan Bagi Sistem Pemasyarakatan*

Dugaan kekerasan di Lapas Tanjung Pandan ini memiliki implikasi jauh lebih luas.

Insiden tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana pengawasan terhadap perilaku pejabat lapas berjalan?

Bagaimana mekanisme perlindungan bagi pegawai, khususnya CPNS yang berada pada posisi rentan?

Kasus ini seakan membuka tabir tentang kemungkinan adanya budaya kekerasan dan intimidasi di lingkungan pemasyarakatan.

Jika seorang CPNS saja bisa menjadi korban, bagaimana dengan narapidana yang berada dalam posisi lebih lemah?

Apakah hak-hak dasar mereka benar-benar dijamin?

Skandal ini pun menjadi alarm keras bagi Kementerian Hukum dan HAM untuk tidak hanya sekadar bereaksi, tetapi melakukan reformasi menyeluruh.

Transparansi, pengawasan independen, dan mekanisme penegakan hukum yang tegas menjadi tuntutan publik yang tidak bisa diabaikan.

*Tuntutan Reformasi dan Investigasi Independen*

Masyarakat luas, terutama di Belitung, mendesak agar kasus ini ditangani secara transparan.

Investigasi independen sangat diperlukan agar tidak ada konflik kepentingan atau upaya menutup-nutupi fakta.

Desakan reformasi juga semakin menguat. Lapas seharusnya menjadi institusi pembinaan, bukan arena penyiksaan.

Bukan hanya narapidana yang membutuhkan perlindungan, tetapi juga pegawai, staf, dan CPNS yang bekerja di dalamnya.

Praktik kekerasan, jika dibiarkan, hanya akan memperkuat stigma negatif masyarakat terhadap lapas.

Padahal, lembaga ini seharusnya menjadi garda depan dalam upaya membina manusia agar kembali ke jalan yang benar.

*Menanti Klarifikasi dan Langkah Tegas*

Hingga berita ini diturunkan, tim media masih berupaya menghubungi Kalapas Royhan AI Paisal maupun pihak Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bangka Belitung untuk meminta klarifikasi.

Publik menunggu apakah institusi terkait berani mengambil langkah cepat—setidaknya dengan menonaktifkan sementara pejabat yang diduga melakukan kekerasan hingga penyelidikan selesai.

Penting untuk diingat, setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak atas asas praduga tak bersalah hingga ada putusan pengadilan.

Namun, jika bukti-bukti yang ada menguatkan, maka tindakan tegas harus dijalankan. Tidak boleh ada impunitas, terlebih bagi pejabat yang seharusnya menjadi teladan di lingkungannya.

*Membuka Jalan Keadilan*

Kasus Syafik Abdi bukan hanya tentang seorang CPNS yang menjadi korban. Lebih dari itu, ini adalah ujian besar bagi sistem pemasyarakatan Indonesia.

Apakah lembaga ini mampu membuktikan diri sebagai institusi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, atau justru semakin terperangkap dalam lingkaran kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan?

Bagi keluarga korban, keadilan adalah harga mati. Bagi masyarakat, kasus ini adalah cermin untuk menilai sejauh mana negara hadir melindungi warganya, bahkan ketika mereka berada di dalam sistem yang seharusnya menjunjung tinggi hukum.

Satu hal pasti: keadilan tidak boleh berhenti di ruang sidang. Ia harus hadir dalam bentuk nyata, dengan memberikan perlindungan, menindak tegas pelaku, dan memastikan reformasi agar kejadian serupa tak lagi terulang. (KBO Babel)

Ayo! Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan



نموذج الاتصال