gr Budaya Demokrasi di Jogja Dibalas Kesewenangan Aplikator


Budaya Demokrasi di Jogja Dibalas Kesewenangan Aplikator

Daftar Isi
Budaya Demokrasi di Jogja Dibalas Kesewenangan Aplikator  

YOGYAKARTA – growmedia-indo.com
Hak bersuara dan demokrasi seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Yogyakarta, sebuah kota yang dikenal sebagai pusat budaya dan pendidikan. Namun, yang terjadi hari ini di Grab Driver Center (GDC) Yogyakarta justru memperlihatkan bagaimana kebebasan berekspresi dibalas dengan tindakan semena-mena oleh pihak aplikator (05/05/2025).

Puluhan driver Grab berkumpul untuk menuntut kejelasan atas tindakan suspend terhadap tiga rekan mereka yang sebelumnya mengirimkan karangan bunga sebagai refleksi terhadap kebijakan perusahaan. Sebuah aksi simbolik yang dilakukan dengan cara santun, tetapi justru berujung pada hukuman tanpa dasar yang jelas. 

Wuri menyayangkan sikap Grab karena budaya santun tidak seharusnya dibalas dengan sanksi. Wuri Rahmawati, Ketua Asosiasi Driver Online Yogyakarta dari Forum Ojol Yogyakarta Bergerak (FOYB), mengungkapkan bahwa tidak ada aturan yang menyatakan bahwa mengirim karangan bunga adalah tindakan ilegal. Namun, pihak Grab berdalih bahwa aksi tersebut mengganggu ketertiban dan dianggap sebagai bentuk penghasutan.

"Kami selalu mengedepankan cara yang beradab dalam menyampaikan aspirasi, tapi yang kami dapatkan justru suspend sewenang-wenang. Jika tidak ada titik temu dalam dialog, bukan tidak mungkin kantor Grab akan menghadapi konsekuensi lebih besar," ujar Wuri. 

Menurutnya, perusahaan seharusnya memahami bahwa dalam budaya masyarakat Yogyakarta, mengkritik dengan cara santun adalah bentuk penghormatan. Jika kritik yang dilakukan dengan cara yang sopan saja tetap mendapat balasan berupa sanksi yang tidak manusiawi, maka ini bisa dipandang sebagai bentuk penghinaan terhadap warga Yogyakarta dan nilai-nilai demokrasi.  

Pemerintah dan pemangku kebijakan semestinya turun tangan untuk memastikan bahwa perusahaan tidak semena-mena terhadap tenaga kerja lokal. Yogyakarta bukan hanya pasar bisnis, tetapi kota dengan budaya kuat yang menghargai keadilan. Jika ketidakadilan semacam ini dibiarkan, maka masyarakat yang selama ini selalu mengedepankan sikap damai bisa terpancing melakukan tindakan lebih tegas demi membela hak-hak mereka.  

Baca : 


Geger, salah satu driver yang terkena suspend, menyampaikan bahwa dialog yang berlangsung hari ini belum memberikan titik temu yang memuaskan. Pihak Grab tetap bersikukuh bahwa sanksi yang diberikan karena aksi mereka dianggap sebagai gangguan dan pemicu kegaduhan. 

"Senin kami akan kembali berdialog dengan manajemen. Namun, jika masih tidak ada kejelasan, maka kami akan menempuh jalur somasi dan hukum," tegasnya.  

Menurutnya, tindakan Grab telah mencerminkan bagaimana mitra pengemudi tidak dihargai. Suspend tanpa batas waktu yang jelas sama saja dengan mencabut sumber penghidupan mereka. 

"Loyalitas rekan-rekan driver yang berusaha mengingatkan manajemen Grab justru berujung pada suspend yang tidak jelas hingga kapan berakhirnya. Ini sangat merugikan, karena selama mereka tidak bisa bekerja, anak istri mereka tetap harus makan. Ini bukan sekadar persoalan internal perusahaan, tetapi sudah menjadi kemunduran dalam demokrasi," pungkasnya.  

Wuri dari FOYB menambahkan “Kasus ini menjadi cerminan buruk bagi Grab dalam memahami budaya dan prinsip demokrasi yang dijunjung masyarakat Yogyakarta. Jika kesewenangan ini terus terjadi, bukan tidak mungkin operasional Grab di Yogyakarta menghadapi risiko penyegelan atau penghentian sebagai bentuk protes dari warga yang marah atas perlakuan semena-mena terhadap tenaga kerja lokal.” imbuhnya 

“Perusahaan teknologi seperti Grab seharusnya memahami bahwa mitra bukan sekadar angka dalam sistem, tetapi manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan dengan adil. Jika mereka terus mengabaikan suara komunitasnya sendiri, maka kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan ini akan semakin runtuh.” tegasnya.

( Pitut Saputra )

Posting Komentar