gr Vonis Tujuh Bulan Dinilai Cacat Hukum, Sidang Kades Ramang Jadi Sorotan


Vonis Tujuh Bulan Dinilai Cacat Hukum, Sidang Kades Ramang Jadi Sorotan

Table of Contents
DENNY/GROWMEDIA - Penasihat Hukum Kepala Desa Ramang, Haruman Supono



KALTENG, PULANG PISAU, growmedia-indo.com — Sidang ke-7 perkara dugaan pemalsuan surat tanah dengan terdakwa Kepala Desa Ramang, Ramba, kembali menghangatkan ruang sidang Pengadilan Negeri Pulang Pisau. Kali ini, bukan hanya karena tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menjatuhkan hukuman tujuh bulan penjara, tetapi karena reaksi keras kuasa hukum terdakwa yang menilai proses hukum dalam perkara ini penuh kejanggalan dan cacat sejak awal.

Sidang berlangsung pada Senin malam, 21 Juli 2025, dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ismayul Ishmatuel Lulu, SH, MH, serta dua hakim anggota, Ismaya Salimdri, SH dan Niken Anggi Prajati, SH. Dalam sidang tersebut, JPU atas nama Khabib membacakan tuntutan pidana tujuh bulan penjara kepada Ramba atas dugaan pemalsuan Surat Keterangan Tanah (SKT).

Namun, usai sidang, kuasa hukum Ramba, Haruman Supono, melontarkan kritik tajam terhadap JPU. Ia menilai tuntutan tersebut sarat kepentingan, lemah secara substansi hukum, dan tidak mencerminkan rasa keadilan. “Ini bukan soal angka tujuh bulan. Ini soal kebenaran yang dikaburkan oleh pendekatan yang terlalu represif terhadap perkara keperdataan,” ucap Haruman.

Haruman, yang juga Ketua DPD Peradi Bersatu Kalimantan Tengah, menegaskan bahwa dari seluruh proses persidangan, tidak ditemukan unsur pidana yang dapat dikenakan terhadap kliennya. Ia menyebut tanah yang dipersoalkan merupakan milik keluarga Ramba secara turun-temurun dan telah dikuasai sejak lama.

“Kalau kita bicara hukum, maka jelas ini perkara administratif. Tidak ada kerugian, tidak ada niat jahat. Mestinya perkara seperti ini diselesaikan di meja mediasi atau perdata, bukan di ruang sidang pidana,” tambahnya.

Ia juga mempertanyakan motivasi di balik sikap JPU yang tetap memaksakan tuntutan pidana meski bukti dan keterangan saksi ahli menyatakan perkara ini tak layak secara hukum pidana. “Jangan sampai ada beban moral atau kepentingan lain yang membuat penuntut ragu menyatakan bebas,” sindirnya.

Sorotan juga diarahkan pada pemberitaan di beberapa media lokal yang menyebut status Ramba sebagai kepala desa nonaktif. Haruman membantah keras informasi tersebut dan meminta media berhati-hati dalam membuat pemberitaan. “Klien kami masih menjabat sebagai kepala desa. Tidak ada surat pemberhentian. Yang berjalan sekarang hanya pelaksana harian,” tegasnya.

Ia juga menegaskan akan menyampaikan pleidoi atau nota pembelaan secara lengkap pada sidang selanjutnya yang dijadwalkan Rabu 23 Juli 2025. “Kami sudah siapkan naskah pembelaan dengan pendekatan hukum, etika, dan kemanusiaan. Ini bukan sekadar soal surat tanah, tapi soal masa depan nama baik seorang pemimpin desa,” ungkapnya.

Pihak keluarga juga angkat bicara. Konedi, adik kandung Ramba, mengatakan bahwa keluarga besar sangat berharap keadilan benar-benar ditegakkan. Ia menilai selama ini jalannya sidang memperlihatkan bahwa tudingan terhadap kakaknya terlalu dipaksakan. “Kami percaya hakim akan menilai secara adil. Bukan karena tekanan, tapi karena hati nurani hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, Haruman menyebut akan menyiapkan duplik sebagai tanggapan resmi atas replik yang disampaikan jaksa. Ia berharap majelis hakim benar-benar mempertimbangkan prinsip in dubio pro reo, yaitu apabila ada keraguan, maka terdakwa wajib dibebaskan. “Ini prinsip universal dalam hukum pidana modern. Jika diragukan, jangan dihukum,” katanya.

Tak hanya itu, Haruman juga mengkritisi aparat penyidik yang menurutnya gagal mengidentifikasi karakter hukum dari perkara tersebut. Ia menyebut adanya kekeliruan ganda, baik dalam menilai subjek maupun objek hukum. “Error in personam dan error in objecto. Ini bisa jadi pelajaran mahal jika tetap dipaksakan pidana,” ucapnya.

Kasus ini sejak awal memang menarik perhatian publik karena menyentuh ranah konflik pertanahan antara warga dengan pihak swasta. Banyak kalangan menilai bahwa penggunaan pasal pemalsuan dalam perkara ini sangat tidak proporsional dan berpotensi menciptakan preseden buruk bagi penyelesaian konflik agraria di tingkat lokal.

Sidang lanjutan pada Rabu nanti dipastikan akan menjadi titik penting dalam perjalanan kasus ini. Apabila majelis hakim menjatuhkan putusan bebas, maka ini akan menjadi penegasan bahwa hukum tidak bisa tunduk pada tekanan atau kekeliruan awal dalam proses penanganan perkara.

Namun jika putusan tetap mengarah pada pidana, meskipun ringan, tidak menutup kemungkinan kasus ini akan berlanjut ke tingkat banding atau kasasi. “Kami siapkan semua jalur hukum. Tapi harapan kami, cukup di sini saja ujian ini berakhir,” tutup Haruman. (DENNY)

Posting Komentar