Tuding Tomi Permana 'Minta Jatah Proyek', Ahmad Wahyudi alias Yuko Terancam UU ITE
Pangkalpinang, Growmedia,indo,com–
Dunia maya kembali menjadi panggung pertempuran reputasi. Kali ini, Ketua Pemuda Pangkalpinang Bersuara, Tomi Permana, memilih jalur hukum setelah namanya diseret dalam dugaan tak berdasar di media sosial. Tomi resmi melaporkan akun Facebook milik Ahmad Wahyudi, yang dikenal juga sebagai Yuko, ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Kepulauan Bangka Belitung, Senin (19/5/2025).
Ia menuduh Yuko melakukan pencemaran nama baik melalui unggahan yang menyebut Tomi "mengondisikan Kejaksaan Negeri Pangkalpinang" demi kepentingan proyek pemerintah.
Unggahan tersebut langsung memicu reaksi keras. Bagi Tomi, tuduhan ini bukan sekadar opini liar, tapi sebuah bentuk fitnah yang bisa merusak reputasi pribadi sekaligus mencederai kredibilitas institusi penegak hukum.
"Fitnah yang disebarkan lewat media sosial bukan hanya menyerang saya, tapi juga mencederai Kejari Pangkalpinang sebagai institusi hukum yang seharusnya dihormati," tegas Tomi dalam keterangan persnya.
Ia menyatakan tidak pernah memiliki keterlibatan dalam proyek-proyek di Kejari, apalagi dengan cara-cara yang menyimpang dari jalur hukum. Baginya, unggahan tersebut adalah disinformasi yang sengaja diarahkan untuk menjatuhkan nama baiknya secara personal dan institusional.
Langkah hukum yang ditempuh Tomi mengacu pada Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yang mengatur pidana bagi siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Ancaman hukumannya tidak main-main: hingga 4 tahun penjara dan denda maksimal Rp750 juta.
Menimbang Kritik dan Fitnah di Ruang Digital
Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana batas antara kritik dan fitnah kian kabur di era kebebasan digital. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang dialog dan transparansi, kerap kali berubah menjadi senjata karakter assassination.
Dalam konteks ini, tuduhan yang dilempar tanpa dasar dan bukti kuat bukan lagi menjadi bagian dari kontrol sosial, tetapi berubah menjadi serangan personal yang bisa berujung pidana.
Hal inilah yang menjadi dasar sikap tegas Tomi: bahwa kebebasan berpendapat harus disertai tanggung jawab hukum dan etika.
"Ini bukan hanya soal saya pribadi. Saya ingin masyarakat sadar, bahwa media sosial bukan tempat untuk asal bicara. Harus ada tanggung jawab moral dan hukum di balik setiap unggahan," ujar Tomi, yang didampingi tim kuasa hukum dari Kantor Advokat NAA-RA and Partners.
Tomi juga menilai perlu adanya pendidikan publik tentang literasi digital, agar warga tak menjadi korban atau pelaku dari informasi yang menyesatkan. Ia menggarisbawahi bahwa membagikan kabar bohong di ruang publik digital bukanlah tindakan sepele.
UU ITE: Pisau Bermata Dua
Di satu sisi, UU ITE hadir sebagai tameng hukum untuk melindungi individu dari pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks. Namun, di sisi lain, pasal-pasalnya kerap dianggap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus ini menjadi momentum untuk meninjau bagaimana pasal tersebut diberlakukan: apakah benar melindungi korban fitnah, atau justru membungkam kritik?
Namun dalam laporan Tomi, motif fitnah tampak jelas. Tuduhan proyek dan ‘jual nama Kajari’ bukan hanya menyerang kredibilitas seseorang, melainkan juga mengintervensi integritas lembaga hukum.
Ini bukan kritik terhadap kebijakan atau institusi, melainkan dugaan personal yang menyeret nama lembaga dalam narasi tak berdasar.
Pihak Reskrimsus Polda Babel kini tengah mendalami laporan tersebut. Proses klarifikasi dan penelusuran bukti digital akan menentukan apakah unsur pidana dalam UU ITE terpenuhi.
Sementara itu, Ahmad Wahyudi alias Yuko hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut. Awak media masih berupaya menghubungi yang bersangkutan untuk mendapatkan konfirmasi.
Catatan Kritis: Ruang Digital Tak Bebas Hukum
Kasus Tomi dan Yuko menjadi pengingat bahwa ruang digital bukanlah zona bebas hukum. Kebebasan berpendapat harus dibarengi dengan kesadaran hukum dan etika.
Salah satu nilai demokrasi adalah transparansi, tetapi saat transparansi dikaburkan oleh disinformasi, maka yang muncul adalah kekacauan, bukan kritik yang sehat.
Media sosial sejatinya adalah cermin masyarakat digital. Jika ia digunakan untuk menyebar fitnah, maka masyarakat itu sendiri yang akan tercermin sebagai tidak beradab.
Dalam hal ini, langkah hukum menjadi pembelajaran penting bahwa saring sebelum sharing adalah bukan sekadar nasihat, melainkan tanggung jawab hukum.
Langkah Tomi bisa dibaca sebagai upaya menegakkan etika dalam era keterbukaan informasi, di mana siapa pun bisa jadi korban, dan siapa pun bisa jadi pelaku jika tak bijak menggunakan jari.
Ketika kata-kata bisa viral dalam hitungan detik, maka satu kalimat bisa mengantar seseorang ke meja hijau. (KBO Babel)
Posting Komentar